Kamis, 05 Januari 2017

Catatan Pernikahan : Karena Menikah Bukan untuk Bahagia

Pertama kali mendengar kalimat inj, kening langsung ngernyit. Kok bisa...? Apalagi kalau melihat siapa yang mengeluarkan statemen ini, seorang ustadz gitu lah... tapi setelah mendengar penjelasannya akhirnya mengerti. Mau tahu... yuk simak tulisan saya yang terinspirasi ceramah Ust. Salim A Fillah :

Sejatinya, menikah yang merupakan syariatNya adalah seperti titah dan tugas yang berujung pada peribadahan. Maka niatkan menikah untuk beribadah kepada Allah Swt. Logikanya, jika kita menjalani pernikahan dalam rangka mengabdi pada Allah maka yang dituju adalah ridha Allah. Bayangkan apa yang bisa didapat seorang hamba saat Allah ridha, adalah diberikan semua rahmat dan kasih sayangnNya Bahkan yang paling diinginkan oleh manusia yaitu syurgaNya.

Ya, segala sesuatu memang kembali pada niat. Karena dengan niat itu akan terbayang apa yang akan didapatnya. Jika berniat karena Allah, maka yang didapatnya adalah rahmat, kecintaan dan ridhaNya. Demikian juga jika niat atau yang ditujunya selain Allah, maka itu juga yang akan didapatnya.

Jika menikah hanya untuk bahagia, karena  bisa bersanding hidup bersama dengan orang yang dicintai, ya hanya itu yang didapat. Jika menikah karena faktor harta, maka itu juga yang akan dikejar. Tapi jika menikah itu diniatkan untuk Allah, untuk beribadah kepadaNya, maka yang didapat adalah keridhaanNya dan bonusnya adalah bahagia, samara atau apapun istilahnya.

Karena menikah itu untuk beribadah, maka pilihlah pasangan yang mau diajak beribadah juga. Kebayang kalau dalam satu perahu tujuannya beda, bisa ribut melulu menentukan pelabuhan yang dituju. Pernah kan mendengar kisah Khalifah Abu Bakar r.a., meminta anaknya bercerai? Kok gitu sih..., kalau kita yang awam diminta komentar hehehe. Padahal Abu Bakar adalah orang yang terkenal lembut, welas asih, tapi tetap saja gerah ketik melihat sang anak menjadi turun grafik ibadahnya karena sang pasangan.

Dikisahkan karena mawaddah ( cinta menggebu-gebu yang kuat ) dalam pasangan itu, malah membuat sang suami berat berpisah dengan istri walau untuk beribadah. Melihat hal itu, Abu Bakar yang menilai hal ini merugikan memberikan ultimatum, bercerai saja. Walau pun akhirnya tercatat dalam sejarah pasangan itu tetap bersatu dengan memperbaharui orientasi, mendahulukan Allah, menomersatukan ibadah dalam berumah tangga.

Pilih juga pasangan yang bisa saling dukung dalam pengabdian kepada Allah Swt. Maksudnya, dalam hal ini visi sudah sama, tapi ada hal-hal secara teknis yang memang bisa menghambat pengabdian. Misal, saat Umar bin Khattab melamar salah satu putri Abu Bakar r.a., maka Aisyah r.a., yang melihat ada hal -yang kemugkinan besar bisa-menghambat pengabdian pada Allah, yaitu dari segi latar belakang dan pola asuh.

Bayangkan putri Abu Bakar yang dibesarkan dalam keluarga penuh cinta dengan kata-kata lembut, pastinya akan kaget-kaget saat harus berhadapan dengan kepribadian Umar r.a., yang to the point dan keras. Maka Ummahatul Mukminin menyarankan pinangan ke keluarga Ali r.a., yang lebih setipe dengan keluarga Umar r.a.

Hingga Umar r.a., pun menikah dengan Ummu Kalsum bin Ali bin Abu Thalib r.a. Dan kelak, sejarah mencatat beliau lah yang mendampingi Amirul Mukminin dalam menjalankan tugas-tugasnya. Termasuk patroli malam dan membantu seorang muslimah yang akan melahirkan, subhanallah...

Semoga bermanfaat, mari meluruskan niat...  :)
Catatan jum'at pertama di Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar