Sore itu, tiba- tiba teman saya
berkata,”Rasanya, saya belum menjadi istri yang mandiri deh.”
“Oh ya..? Kenapa?” tukasku setelah
meneguk sisa air di cangkir.
“ Apa- apa harus sama suami. Belanja
mesti sama suami. Urusan kran bocor, genteng pecah atau yang sepele seperti
air dispenser habis saja harus suami turun tangan. Apalagi untuk urusan yang
gawat seperti anak sakit. Saya enggak bisa ngebayangin kalau harus bawa anak
sakit ke dokter atau rumah sakit sendirian. Kalau dipikir- pikir apa aku ini
manja banget ya..hihi.”
Saya hanya terdiam. Kata- kata teman
saya mengingatkan pada episode- episode saat suami harus dinas keluar kota
selama hampir satu bulan lebih. Bagi saya yang biasa melihat suami ada di
rumah, minimalnya saat jam kantor selesai tentu bukan perkara mudah. Apalagi
sejak suami pergi ada saja kejadian di rumah. Dari mulai gas habis, persediaan
beras yang menipis sampai si sulung yang waktu itu harus daftar ke SD. Yang paling
membuat bingung tentu saja tiga anak yang kompakan sakit gondongan.
Mengeluh, rasanya tidak ada waktu
untuk mengeluh. Untuk mengabari suami kondisi di rumah saja sudah tidak tega.
Setiap malam saat dia menelepon saya selalu bilang kondisi rumah aman
terkendali. Itu saya lakukan agar dia tenang dan konsentrasi dengan tugas-
tugasnya. Ketika anak- anak sakit saya juga cuma cerita semua sudah ditangani. Sudah
ke dokter dan dapat obat. Suami waktu itu hanya berhamdalah dan minta maaf,
karena saya harus mengurus semua sendirian.
Jangan
tanya kerepotan dan pusing
yang saya alami. Bolak- balik ke dokter dengan ojek, begadang karena
rintihan
anak yang deman, atau pagi- pagi harus memasak bubur karena membuka
mulut saja
mereka kesakitan. Belum lagi mencari sekolah yang tepat untuk si sulung
mengharuskan saya keluar kompleks dan turun naik angkot. Saya juga
harus memutar otak dan mengnencangkan ikat pinggang karena pengeluaran
yang tiba- tiba membengkak. Duh…, saya juga tidak memungkiri kalau
sempat menangis dan
mengeluh sama Allah SWT. Tapi waktu itu yang terlintas dalam pikiran
adalah ini
tugas saya, tugas sebagai kepala rumah tangga yang saat itu sedang
dititipkan
suami. Bismillah laa haulaa walaa quwwaata illaa billah, hanya itu
penyemangat
saya waktu itu.
Dari kejadian itu saya memahami,
menjadi istri yang mandiri bisa jadi menjadi suatu keharusan. Seorang istri bukan hanya pendamping suami, yang
hanya mau dipimpin, diatur, diayomi dan dibantu dalam tugas- tugasnya. Perlu dipahami
bahwa seorang istri adalah pimpinan di rumah yang tugasnya mengatur rumah. Artinya,
segala sesuatu urusan rumah termasuk anak menjadi tanggung jawabnya. Dalam
sebuah hadist, Rasulullah pun mengingatkan bahwa setiap manusia akan diminta
pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Dan seorang istri akan diminta
pertanggung jawaban tentang rumahnya ( yang menjadi wilayah kepemimpinannya).
Profil istri mandiri yang bisa
dicontoh sangat jelas pada sosok Hajar, istri Khalilullah Ibrahim as. Dimulai
dari dia dan bayi Ismail dikirim Ibrahin ke tempat yang jauh dari kehidupan.
Yang masih sepi dengan bekal seadanya. Tentu saja Hajar bukanlah tipe istri
yang banyak mempertanyakan keputusan suami. Saat melihat tekad Ibrahim, Hajar
sudah tahu bahwa hijrahnya dia dan Ismail ke tanah Bakka adalah perintah Allah
SWT. Hajar membuang jauh- jauh prasangka dan kecurigaan yang biasanya lekat
dengan perasaan wanita. Hajar tidak menanyakan apakah Ibrahim semata- mata
ingin mengucilkannya. Hanya satu pertanyaan Hajar pada Ibrahim,” Apakah ini
perintah Allah, wahai suamiku?”
“Betul.”
“Kalau begitu, saya yakin Allah
pasti akan menolong.” Jawab Hajar yakin.
Subhanallah, itulah Hajar yang
disandingkan Allah dengan hamba kesayangannya. Kualitas Hajarlah yang
membuatnya terpilih untuk menjadikannya sebagai pendidik Ismail as. Ketegaran Hajar dalam
menunjukkan kemandiriannya menjalankan tugas dan skenarioNya diabadikan dalam
setiap kucuran air zam- zam, juga dalam setiap langkah sa’i antara Shafa dan
Marwah.
Kalau melihat kondisi sekarang ini,
tentunya kondiri Hajar waktu itu bisa jadi seratus kali lebih berat. Dia
berpisah dengan Ibrahim bukan untuk hitungan sehari, seminggu. Dia harus
mandiri hampir untuk belasan tahun. Mengingat hal itu rasanya malu jika hanya
ditinggal suami dua malam saja membuat istri- istri mengeluh, uring- uringan. Ditambah
peralatan komunikasi sudah canggih. Angkot, taksi dan ojeg juga mudah sekali di
dapat. Dokter, balai pengobatan dan apotik juga bukan barang langka. Belum lagi
layangan pesan antar yang memudahkan kita memesan apapun tanpa beranjak dari
rumah.
Ya.., menjadi ibu dan istri di masa
kini memang lebih mudah. Banyak sekali bantuan dari mulai bantuan tenaga maupun
alat yang bisa meringankan tugas- tugas kerumahtanggan. Mestinya itu membuat
istri- istri semakin mandiri dan bisa melejitkan potensi- potensi terpendam
yang dimilikinya. Hingga dia lebih berkarya untuk keluarganya atau untuk
masyarakatnya.
Maka, belajarlah dari Hajar. Belajar
menjadi tegar dan mandiri. Menjadi istri yang tidak selalu bergantung ke suami.
Tapi menjadi seorang istri yang bisa dipercaya untuk tugas- tugas hebat dalam
hidupnya. Wallohua’lam bishowab.***( Ayesha El Himah)
Alhamdulillah wa syukurillah, sebentar lagi umat islam akan bertemu dengan moment qurban ( Idul Adha). Qurban secara fikih adalah menyembelih hewan sembelihan. Menurut bahasa qurban berasala dari kata taqorrub yang berarti mendekat. Maka berkorban hendaknya tidak saja dimaknai dengan ritual menyembelih hewan qurban tapi juga dilandasi dengan niat untuk mendekatkan diri pada Allah SWT. karena itu juga yang dicontohkan oleh pelaku berqurban dalam sejarah manusia.
Qurban dikenal pertama kali dalam kisah Habil dan Qabil. Kedua putra Nabi Adam as ini diuji ketaatannya pada sebuah perintah Allah tentang pernikahan. Maka saat Qabil merasa tidak puas dengan aturan Allah, turunlah perintah qurban. Qabil yang sejak awal curiga terhadap aturan Allah, maka berkorban dengan hasil pertanian ala kadarnya. Dia tidak memberi yang terbaik bagi Allah. Sedang Habil yang sejak awal berhusnudzon akan aturan Allah, berkurban dengan ternak yang terbaik yang dimilikinya. Sejarah mencatat bahwa qurban Habillah yang diterima Allah SWT.
Pelajaran yang sama juga bisa didapat pada moment qurban yang dilakukan oleh keluarga Ibrahim as. Dalam QS. As Shaff ( 37 ) :100- 108 . Sungguh, ujian kali ini terasa berat bagi Ibrahim. Dulu, saat dia baru mendapat keturunan yang selama ini didambakan, dia sudah diperintah memindahkan Ismail dan hajar ke Bakka ( kini menjadi Mekkah ) yang tak berpenghuni. Tanpa banyak bertanya, Ibrahim membawa keluarga kecilnya sesuai perintah Allah dengan bekal seadanya. Hanya karena yakin akan pertolongan Allah, Ibrahim rela meninggalkan Hajar dan bayi ismail di bawah sebuah pohon kurma. Ujian ini berhasil dilalui Ibrahim. Kini, setelah beberapa tahun berlalu, ujian Allah datang lagi. Kali ini perintah untuk menyembelih Ismail yang sangat dicintainya. Sekali pun berat, Ibrahim tetap melaksanakannya. didukung oleh Hajar yang sholehah dan Ismail yang sabar maka tugas berat itu pun sukses dijalani. Jangan bayangkan tak ada aral melintang yang menghadang. Bahkan syaitan laknatullah berkali - kali menggoda Ibrahim, Hajar dan Ismail. Hasilnya, Allah pun ridha dengan pengorbanan Ibrahim dan mengganti Ismail dengan hewan sembelihan yang baik, subhanallah.
Seandainya, Ibrahim adalah pribadi yang tidak taat, tak mungkin ujian itu datang padanya. Karena ujian semata- mata diturunkan bukan untuk membuat manusia susah, tapi semata- mata agar pertolongan Allah datang kepadanya. Allah juga menurunkan ujian hanya pada orang- orang yang dikasihinya. Yakinlah, tidak mungkin Allah menyakiti hamba yang dicintai dan dikasihinya. Hanya saja, Allah ingin melihat seberapa besar kadar kecintaan hamba tersebut. Ibrahim as berhasil menunjukkan bahwa kecintaannya kepada Ismail ( anak semata wayangnya saat itu ) tidak membuat kecintaan kepada Allah berkurang. Bahkan Ibrahim berhasil menularkan keyakinannya kepada Ismail dan Hajar.
Bandingkanlah dengan kita yang kadang lebih mencintai yang nampak dari pada Allah. kita lebih banyak menghabiskan pikiran dan perhatian untuk dunia, hobi, anak, harta, lawan jenis maupun usaha yang ditekuni. Kalaupun kita menunjukkan perhatian pada Allah SWT, hanya sekedar pada ritual yang dilakukan tanpa ada hikmah yang didapat. kita juga sering sekali suudzon dengan aturan Allah. Bedaaa sekali dengan nabiyullah Ibrahim yang tidak pernah banyak bicara dalam menerima perintah Allah. Pantas, kalau pertolongan Allah juga terasa jauh...jauh..sekali.
Dalam QS. Alkautsar ( 106 ) : 1-3 , dijelaskan hakikat lain dari berkurban. Bahwa berkurban adalah sebentuk syukur atas karunia Allah yang tak terkira yang selama ini kita rasakan. bersyukur bukanlah perkara yang mudah. Karena sering kali kita merasa keberhasilan yang kita rasakan semata- mata buah kerja keras selama ini. Saat mendapati anak lulus ujian, kita melihatnya hasil dari ketekunan belajar dan buah les sana sini. Bahkan seringkali kita merasa menjadi manusia yang paling susaaah di dunia. Seringnya kita juga merasa kurang dengan rezeki yang diberikan oleh Allah. hidup selalu kurang...kurang...dan kurang.
Maka, mulailah merunut nikmat yang Allah berikan dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi. Maka kita akan melihat tidak ada satupun kejadian yang tidak perlu disyukuri. Bahkan untuk kejadian yang bisa membuat kepala cekot- cekot atau hati cenat- cenut pun akan membuat kita bersyukur. Apalagi dengan nikmat iman yang masih ditetapkan Allah dalam diri kita. Bayangkan jika iman sudah tercabut, apa yang akan kita dapat dari kehidupan ini? Naudzubillah...
Karena itu, aku mau berkurban.., ya...kita harus menanamkan niat itu dalam- dalam. Hingga tidak ada beban saat melaksanakannya. Juga bukan sekedar ritual yang hasilnya decak kagum saja. Tapi kita menyadari semua ini sebagai bentuk tasyakur binikmah. semoga dengan senantiasanya kita berkurban maka kita pun layak mendapat gelar muttaqin di hadapan Allah.karena manusia yang bertaqwa adalah manusia yang berbahagia. Hidupnya jauh dari resah, gelisah, galau dan takut. Saat mendapat nikmat Allah dia akan bersyukur, tidak akan berlebihan dalam kegembiraan. Demikian pula saat musibah dan ujian datang, dia tidak akan mencari kambing hitam, dia akan memilih untuk bersabar. Jiwanya yakin sepenuhnya bahwa tidak ada suatu kejadian pun yang terjadi dalam kehidupannya tanpa izin dari Allah SWT. Orang bertaqwa adalah manusia yang jiwanya tenang, tidak resah dan iri pada nikmat yang didapat oleh saudara- saudara, saingan apalagi musuhnya.
So.., apalagi yang menghalangi kita untuk mentaati Allah? Sungguh tidak ada...ya..aku mau berkurban dan akan terus mengupayakan semampuku. Karena aku yakin Allah akan memampukan. Wallohu'alam bishowab. ( Renungan mendekati moment Idul Adha 1433 H )
Surprise
dan senang, itu yang ada dalam hatiku saat gambar USG menunjukkan dua janin ada
dalam kandunganku. Ini kehamilanku yang kedua, berarti jika dilancarkan semua
urusan ini , aku akan langsung diamanahi
3 orang balita. Sulungku baru genap 2 tahun, dan sekarang kandunganku sudah
memasuki usia 4 bulan. Deg- degan, tentu saja, karena perutku terasa lebih
penuh. Saat tendanganan dan pukulan tangan bayi sudah mulai terasa, rahimku berubah
layaknya arena tinju WWF, tendang sini, pukul sana, benjol sana,cekung sini, subhanallah..Pengalaman yang tidak semua
wanita merasakannya bukan?
Memasuki usia kandungan 7 bulan,
dokter memintaku untuk badrest.
Alasannya, bayiku dua – dua nya dalam posisi melintang. Rahim bagian atas
kosong, bawah juga. Aku sih nurut – nurut saja. Kujalani dua minggu di atas
dipan. Hanya beranjak ketika butuh ke kamar mandi, karena aku ogah disuruh
pakai pispot apalagi cateter. selebihnya dilakukan di atas tempat tidur
termasuk mengasuh si sulung.
Selanjutnya Dokter Rini memintaku
banyak melakukan gerakan nungging. “ Ambil positifnya aja, Bu. Lebih baik
gerakan nunggingnya dengan bersujud. Wah..ibu bisa menambah dengan amalan
shalat sunnah, jadi makin banyak deh sujudnya.”
Setuju..!!! aku menyambutnya dengan
gembira. Aku berpikir seperti anjuran dokter, sebagai media mendekatkan diri
dengan Allah. Setiap malam, aku dan suami bermunajat memasrahkan seluruh masalah
ini kepada Sang Pemilik Hidup.
Yang tidak aku siapkan adalah
melahirkan dengan operasi. Makanya, aku langsung stres saat mendengar anjuran
dokter Rini.
“ Operasi, Dok?” Aku sangsi. “
Kenapa?”
“ Insyaallah usaha ibu sudah
maksimal. Satu bayi sudah tidak sungsang. Tapi yang satunya posisinya masih
sungsang dan kakinya menghalangi kembarannya untuk bergerak ke arah jalan
lahir.”
“ Apa memang tidak bisa diusahakan
lagi, Dok? Masih ada 2 minggu lagi kan dari TP?”
Wajah dokter kandunganku berubah
tegas. Satu ekspresi yanghampir belum pernah kulihat sebelumnya. “ Lebih baik dalam minggu- minggu ini, Bu.
Menghindari hal – hal yang tidak diinginkan. Saya sendiri sudah heurin lihat rahim Ibu, sudah padat
banget.”
Puff…, aku masih bingung. Semangat
yang coba dihembuskan suami seolah masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
Inikah hasil akhirnya?
Tanggal 16 Mei, pukul 13.30 aku
memasuki ruang operasi. Melihat wajahku yang pias, dokter anestesi mencoba
mengalihkan perhatianku. “ Wah..kembar ya, Bu?”
Aku mengangguk kaku.
“ Anak ke berapa Bu?”
“ 2 dan 3.”
“ Laki – laki atau perempuan?”
“ Laki – laki dan perempuan,
sepasang.”
“ Alhamdulillah, komplit ya Bu?”
Lamat – lamat kurasakan rasa kantuk
menghampiriku. Sebelum kesadaranku hilang, kusempatkan melantunkan doa dan
sejumput harapan, semoga disempatkan membuka mata dan melihat sepasang kembarku.
Pukul 15.30 sebuah tepukan eh..lebih
tepatnya tamparan menyadarkanku. “ Selamat, Bu. Bayi ibu sudah lahir. Laki-
laki dan perempuan. Cepat pulih ya..?” Dokter Rini yang pertama kali menyambut
kesadaranku.
Rasa penasaran membuatku minta
melewati ruang incubator, tempat
kembarku dirawat. Keduanya lahir dengan berat yang hampir sama 2000gram.
Terbayang kurus dan kecilnya mereka kan? Kusapa si jagoan dengan Zuhdi Ali dan
si cantik yang ada di incubator
sebelahnya dengan Zainab Khalisah.***
Tahun
2009
Zainab atau lebih sering kupanggil
Nenab, sudah genap 4 tahun. Tubuhnya gemuk, tapi masih dalam batas normal.
Mukanya bulat, dengan mata besar yang indah. Kalo bicara lucu, fasih dan tidak
cedal. Di telingaku, suaranya seperti berbentuk bulat – bulat yang membuatku
gemas. Kadang, aku mesti menyadarkan diriku dan beristighfar berkali- kali saat
mengagumi keindahan makhluk kecil ini. Takut terlena !!
Menyadari dia sebagai anak nomor 2,
aku memang memberi perhatian khusus. Karena, menurut Alfred Alder, bapak
pencetus teori psikologi individu berdasarkan urutan kelahiran, bahwa anak
nomor 2 biasanya cenderung bersifat susah diatur, sering dianggap keras kepala,
sensitif, walaupun memiliki sifat mandiri dan juga mudah beradaptasi. Kebetulan
semua teori Pak Alfred ada pada Nenab. Dia memang cenderung keras kepala,
pemarah, sulit dimengeri. Ayahnya saja sering sekali merasa kewalahan
menghadapi Nenab.
“ Duh..ibu aja deh..” Kilahnya
setiap gagal membujuk Nenab berhenti dari tangisannya yang lama dan konsisten
banget dalam hal volume suaranya.
Tidak mau berlama – lama bingung,
aku langsung konsultasi ke temanku, Hani yang kebetulan seorang psikolog.
“ Emang ada pendapat seperti itu,
tapi sebenarnya itu terjadi karena anak nomor 2 kadang kurang dapat perhatian
seperti layaknya anak sulung atau bungsu. So..,
kasih perhatian dan kasih sayang yang sama aja, Non.” Ujar Hani lugas.
“ Kasih pengertian juga sama
saudara- saudaranya, bahwa meskipun bersaudara bahkan kembar sekalipun, mereka
tetap pribadi yang berbeda, pribadi yang unik. Penanganannya pun kudu unik. Aku
sih yakin kamu bisa..” Hani berusaha menyemangatiku.
Gantian aku yang bingung. Terasa ada
beban berat yang menggelayuti pundakku. Tapi bukankah amanah ini sudah datang
padaku, pastinya aku juga sudah disiapkan dan dinilai mampu. Jadi..bismillah aja deh..
“ Oke deh, Ni. Nuhun banget ya..”
Aku memutar otak, mencari informasi
di sana – sini, membaca buku parenting dan tetap berkonsultasi dengan Hani. Intinya,
tetaplah berprasangka baik pada anak, dan berilah penilaian dengan kata – kata
positif. Kedengarannya mudah kan? Tapi prakteknya lumayan susah. Pertama aku
harus berkompak-ria dengan suami. “ Jangan pernah menyebutnya tukang cemberut.
“ tegasku.
“ Ya..bukan apa – apa bu, lihat saja
wajah Nenab. Lengkungan bibirnya membuat wajahnya kusut. Ibu lihat lagi aja tuh
foto pas dia baru dikeluarkan dari inkubator. Dia cemberut, Zuhdi tersenyum,
sungguh sepasang lengkungan yang sempurna.”
Mau tak mau aku tersenyum
membayangkan foto si kembar yang memang persis gambaran suamiku. Tapi
menjauhinya juga bukan solusi kan, pikirku yakin.
Sebenarnya, aku sebagai ibunya yang
harus lebih sabar mendengarkan hingga pesan yang ingin disampaikan Nenab saat
dia berkomunikasi denganku sampai dengan jelas. Setiap Nenab bicara aku berusaha
menyimak dengan baik. Menunjukkan antusias kala dia tertarik dengan sesuatu.
Aku juga sering memberinya pujian, bahwa senyum Nenab manis sekali. Untuk
menyemangatinya, aku bercerita kalau saat Nenab tersenyum, malaikat Rakib
sedang mencatat amalan mulia. Terang saja, putri kecilku tersenyum lebar –
lebar. Duhh..manisnya.
Dibalik itu, Nenab punya sifat
penyayang. Apalagi terhadap Zuhdi,
kembarannya. Setiap bangun tidur,waktu
makan, bahkan saat Zuhdi kena ulah si sulung, Nenablah yang membelanya. Dia
juga mempunyai sifat pemaaf. Bahkan dia yang selalu mendo’akan ayahnya setiap
dia selesai shalat maghrib. Setiap ayahnya merasa pusing atau aku yang merasa
capek, dia selalu mengajukan pertanyaan polos yang bisa membuat mataku memanas.
“ Ayah pusing ya, Nenab pijitin
ya..??”
Walaupun pijatannya lebih mirip
gelitikan, kulihat suamiku sangat
menikmatinya. Aku mengingatkan agar dia lebih sering memuji Nenab. bukankah
kata – kata positif sangat membangun harga diri anak dari pada celaan dan
hinaan?
“ Enak gak, Yah?”
“ Subhanallah, enak sekali.”
“ hehehehe.” Nenab tertawa
memamerkan gigi susunya yang rapi.
Mungkin karena pujian itu, setiap
kali ditanya oleh siapapun tentang cita – citanya, Nenab selalu menjawab,” Mau
jadi tukang pijit…!!”
Ditahun yang sama, aku terpapar
gejala Typus. Awalnya karena pola makan yang tidak teratur dan kurangnya asupan
gizi. Jadilah badanku kalah diserang virus penyakit itu. Semalaman, tubuhku
deman tinggi. Sudah minum parasetamol, tapi deman itu muncul lagi saat pengaruh
obat hilang.
“ Ibu mau dikompres ?” suara Nenab
terdengar sangat dekat di telingaku.
Ah, aku ingat, setiap kali dia demam
dan di rumah sedang kosong obat turun panas pasti itu yang kulakukan padanya.
Dengan tangan mungilnya, dia
membasahi washlap dan menempelkan di
keningku. Aku hanya bisa tersenyum dan berterimakasih dengan lirih.
Esoknya, aku memutuskan ke dokter.
Padahal, aku biasanya susah banget pergi ke dokter. Tapi membayangkan anak –
anak tidak ada yang mengasuh, aku juga tidak tega. Pagi – pagi diantar suami,
aku pergi periksa ke dokter langganan di komplekku. Nenab yang sudah bangun dan
shalat subuh langsung menyiapkan jaket dan kaos kaki.
“ Biar Ibu gak masuk angin.” Ujarnya
polos.
“ Nenab di rumah aja ya, sama Teteh
dan Aa..” pesan ayahnya.
“ Siap..laksanakan.” jawabnya lucu.
Setelah menitipkan si kembar pada si
sulung, aku dan suami menembus dinginnya pagi. Berrrr…, masyaallah dingin banget Bandung hari ini, keluhku dalam hati.
Sepulang dari dokter, aku langsung
jadi pasien di rumah. Melihat kondisiku yang lemah, suami memutuskan ambil
cuti. Seharian dia jadi ibu rumah tangga, mulai dari sapu lantai, menyiapkan
makanan sampai cuci piring. Karena hobinya beres-beres, Nenab pun mengajukan
diri membantu ayahnya beres- berer kamar tidurnya dan ruang tengah. Hanya urusan
baju kotor yang tidak tersentuh oleh mereka berdua. Biarlah, masih bisa besok
di giling di mesin cuci.
Disekolah, Nenab bercerita pada
gurunya tentang kondisiku yang sedang sakit. Memang, dari laporan gurunya,
Nenab lebih perhatian dan banyak bercerita dibanding Zuhdi. Dia juga mudah
berempati dengan teman – temannya. Tapi juga sangat tegas dan kuat pendirian.
Makanya, anak yang terkenal ‘jegger’ di sekolahnya saja sampai tidak berani
menggodanya.
Di akhir pertemuan, Nenab meminta
guru dan teman – temannya berdoa buatku. “ Ya..Allah, sembuhkan sakitnya Ibu
Nenab, amin..”***
Tahun 2010
Alhamdulillah, Allah menitipkan
amanah lagi di rahimku. Nenab menunjukkan perhatiannya dengan cara unik. Setiap
siang, setelah makan, dia akan menghampiriku yang sedang beristirahat sambil
menenteng buku cerita. “ Hai adik bayi…, ini kakak Nenab. Kalo sudah besar aku
pengin jadi dokter. Nah..yang sehat ya..Mau dibacakan cerita??” Ujarnya sambil
mengelus perutku lembut.
Dia juga yang selalu perhatian
dengan pola makanku. Setiap kali waktu makan berlalu dan dia belum melihat aku
memegang piring, dia pasti protes. “ Kok, Ibu belum makan, kasihan adik bayinya
bu.., pengin maem tuh…”
Tapi, tetap saja ada temanku yang
memberi penilaian ‘agak berbeda ‘dari saudara – saudaranya. “ Ogo..( manja ) dan sulit dimengerti..!”
Aku hanya tersenyum. Wajar – wajar
saja kan orang memberi pendapat.
“ Sebenarnya, dia terlihat judes
karena bentuk mulutnya yang melengkung ke bawah. Mungkin karena waktu di
kandungan dia memang jadi objek penderita kembarannya. Saat di USG dia sering
terlihat kepukul atau ketendang. Bahkan pernah satu kali USG, kaki Zuhdi
nangkring di keningnya hehehe, lucu tapi kasihan juga lihatnya.”
Ohhh..gitu..
“ Tapi dia mempunyai hati yang
sangat cantik, senyum yang manis, ramah dan penuh empati. Jadi gak perlu
operasi bentuk bibir kan..?”****
Untuk Nenab: Bunga kenikir ibu yang cantik
dan penuh percaya diri. Walau cantikmu tak menghiasi jambangan, tapi menjadi
penyejuk mata di tepi jalan. Semakin banyak orang yang mengetahui keunikan dan
kelebihanmu, makin banyak cinta yang hadir dalam kehidupanmu. Selamat mengejar
mimpi- mimpimu, Nak.
By:
Ayesha Elhimah ( pernah diikut sertakan dalam sebuah lomba menulis, tapi tidak lolos hehehe )