Minggu, 25 Januari 2015

Saat Harus Melepas Anak dari ASI



Pas belanja ke warung sayur, Tante – demikian para pembeli menyebutnya- sedang terkantuk-kantuk. Dari ceritanya, ternyata itu karena beberapa hari ini kurang tidur. “Lagi program nyapih si butet nih...” ujarnya dengan mata sayu.

Di hari yang lain, saya melihatnya menggendong si butet di punggung, sementara tangannya cekatan melayani pembeli. Dari ukuran si butet yang lumayan berisi, pastinya cukup berat beban di punggung. Sesekali dia menegakkan punggungnya untuk mengusir pegal, dan pada saat yang sama si butet pun merengek karena merasa tidak nyaman.

Walaupun saya memiliki enam anak, tapi menyapih sampai dua tahun sepertinya baru saya alami pada Ayesha. Si sulung terpaksa berhenti minum ASI saat usianya 15 bulan, karena ada si kembar di peut. Saat si kembar mah, hanya enam bulan menyusui karena kondisi saya yang kecapean membuat ASI tidak lancar jaya. Nah, pas Ayesha saya betul-betul menikmati masa-masa menyusui yang panjang .

Tibalah masa menyapih, dan karena tubuhnya yang kecil, saya rada-rada khawatir. Tapi kalau tidak disapih, dia juga tetap sulit makan karena ‘ngandelin’ ASI. Makanya, setelah berdiskusi dengan suami, saya pun menguatkan niat untuk melepasnya. Awalnya, saya kebingungan harus dengan cara apa? pakai tipu-tipu atau dengan memberi kesadaran pada anak. Tapi rasanya gak tega kalau meski menipu anak, misal dengan bilang, nenennya sakit, atau  diberi lipstik biar anak kira berdarah. Akhirnya, saya pun mantap memilih dengan cara yang ke dua memberi pengertian dengan berkomunikasi.

Tentu saja gak gampang dan tidak cukup waktu 24 jam. Seingat saya sampai sebulan lebih hingga Ayesha bisa betul-betul lepas dari ASI.  Saya pun menerapkan pola shift. Mengingat dia sudah sangat terbiasa nenen selama 2 tahun, tidak mungkin kan di putus dalam hitungan hari. Jadi saya target melepas nenen di siang hari pada awalnya. Setiap dia minta nenen, saya bilang “Ayesha kan sudah besar, kita makana ja yuk?”  saya juga menyibukkan dia dengan mainan atau membacakan cerita untuknya.

 Awalnya, Ayesha tidak cooperative, tapi lama-lama dia pun mulai bisa mengikuti ritme yang saya berikan. Saya pun makin menguatkan tekad dan memperlebar sabar ( ini ujian banget buat saya hehehe). Intinya,  saya mencoba konsisten.
Setelah siang dia tidak minta ASI, bagian terberat justru pas melepas tidur tanpa ASI.  Dan memang begitu lah yang terjadi. Ayesha rewel setiap jam tidur datang. Sudah gendong sampai pegel dan nyanyi sapai mulut kesemutan, tapi anak ini gak juga tidur. Sekalinya tidur tidak mau dilepas dari gendongan. Padahal saya sudah memastikan dia dalam kondisi kenyang. Dan saya juga tidak mau mengganti ASI dengan susu botol. Itu mah hanya mengalihkan dari nenen ke dot kan?

Lagi-lagi diperlukan niat yang kuat dan rasa tega. Mau bermalam-malam kurang tidur dan punggung pegal karena gendong sana-sini. Saya juga selalu menyediakan air putih di dekat tempat tidur, hingga saat dia terbangun karena haus bisa langsung terobati.
Alhamdulillah, masa-masa sulit itu terlewati juga. Kini, saya juga lagi siap-siap menyapih si bungsu Omar yang bulan depan tepat 2 tahun. Walaupun ada spare time sampai 30 bulan, tetap saja kalau tidak dimulai akan susah pada waktunya. Kayaknya saya harus mulai menguatkan niat lagi dan mencoba cara yang pernah diterapkan ke Mbak Ayesha...Bismillah...***