Pas belanja
ke warung sayur, Tante – demikian para pembeli menyebutnya- sedang
terkantuk-kantuk. Dari ceritanya, ternyata itu karena beberapa hari ini kurang
tidur. “Lagi program nyapih si butet nih...” ujarnya dengan mata sayu.
Di hari yang
lain, saya melihatnya menggendong si butet di punggung, sementara tangannya
cekatan melayani pembeli. Dari ukuran si butet yang lumayan berisi, pastinya cukup
berat beban di punggung. Sesekali dia menegakkan punggungnya untuk mengusir
pegal, dan pada saat yang sama si butet pun merengek karena merasa tidak
nyaman.
Walaupun
saya memiliki enam anak, tapi menyapih sampai dua tahun sepertinya baru saya
alami pada Ayesha. Si sulung terpaksa berhenti minum ASI saat usianya 15 bulan,
karena ada si kembar di peut. Saat si kembar mah, hanya enam bulan menyusui
karena kondisi saya yang kecapean membuat ASI tidak lancar jaya. Nah, pas
Ayesha saya betul-betul menikmati masa-masa menyusui yang panjang .
Tibalah masa
menyapih, dan karena tubuhnya yang kecil, saya rada-rada khawatir. Tapi kalau
tidak disapih, dia juga tetap sulit makan karena ‘ngandelin’ ASI. Makanya,
setelah berdiskusi dengan suami, saya pun menguatkan niat untuk melepasnya.
Awalnya, saya kebingungan harus dengan cara apa? pakai tipu-tipu atau dengan
memberi kesadaran pada anak. Tapi rasanya gak tega kalau meski menipu anak,
misal dengan bilang, nenennya sakit, atau
diberi lipstik biar anak kira berdarah. Akhirnya, saya pun mantap
memilih dengan cara yang ke dua memberi pengertian dengan berkomunikasi.
Tentu saja
gak gampang dan tidak cukup waktu 24 jam. Seingat saya sampai sebulan lebih
hingga Ayesha bisa betul-betul lepas dari ASI.
Saya pun menerapkan pola shift. Mengingat dia sudah sangat terbiasa
nenen selama 2 tahun, tidak mungkin kan di putus dalam hitungan hari. Jadi saya
target melepas nenen di siang hari pada awalnya. Setiap dia minta nenen, saya
bilang “Ayesha kan sudah besar, kita makana ja yuk?” saya juga menyibukkan dia dengan mainan atau
membacakan cerita untuknya.
Awalnya, Ayesha tidak cooperative, tapi
lama-lama dia pun mulai bisa mengikuti ritme yang saya berikan. Saya pun makin
menguatkan tekad dan memperlebar sabar ( ini ujian banget buat saya hehehe).
Intinya, saya mencoba konsisten.
Setelah
siang dia tidak minta ASI, bagian terberat justru pas melepas tidur tanpa
ASI. Dan memang begitu lah yang terjadi.
Ayesha rewel setiap jam tidur datang. Sudah gendong sampai pegel dan nyanyi
sapai mulut kesemutan, tapi anak ini gak juga tidur. Sekalinya tidur tidak mau
dilepas dari gendongan. Padahal saya sudah memastikan dia dalam kondisi
kenyang. Dan saya juga tidak mau mengganti ASI dengan susu botol. Itu mah hanya
mengalihkan dari nenen ke dot kan?
Lagi-lagi
diperlukan niat yang kuat dan rasa tega. Mau bermalam-malam kurang tidur dan
punggung pegal karena gendong sana-sini. Saya juga selalu menyediakan air putih
di dekat tempat tidur, hingga saat dia terbangun karena haus bisa langsung
terobati.
Alhamdulillah,
masa-masa sulit itu terlewati juga. Kini, saya juga lagi siap-siap menyapih si
bungsu Omar yang bulan depan tepat 2 tahun. Walaupun ada spare time sampai 30
bulan, tetap saja kalau tidak dimulai akan susah pada waktunya. Kayaknya saya
harus mulai menguatkan niat lagi dan mencoba cara yang pernah diterapkan ke
Mbak Ayesha...Bismillah...***