Selasa, 04 Oktober 2016

Yang Sering Terlupa dari Moment Tahun Baru Islam

Moment tahun baru Islam baru saja berlalu. Meski tak semeriah perayaan pergantian tahun Masehi, tapi beberapa kegiatan tetap mewarnai malam minggu kemarin. Dari mulai tabligh akbar, Imtihan anak-anak TPA juga pawai obor. Untuk yang terakhir disebut sampai membuat jalan-jalan sekeliling komplek saya macet total karen pertemuan rombongan pawai obor dari beberapa DKM :)


foto koleksi pribadi

Tapi adakah yang terlupa dari semua kemeriahan itu? Seorang teman sampai menyampaikan pertanyaan menggelitik in, kegiatan apa yang paling pas untuk momen ini? Jika moment hatun baru disamakan dengan momen membuka lembaran baru, dengan target-target baru, jelas refleksi dan resolusi adalah hal paling pas untuk dilakukan. Muhasabah atau menghitung apakah selama setahun kemarin sudah menjadi  baik dan mengumpulkan banyak bekal ukhrowi atau sebaliknya.

Tapi jika mengingat esensi dari proses Hijrah ( yang mendasari penetapan penanggalan dalam Islam ), mau tidak mau kita harus membuka kembali Sirah Nabawiyah. Catatan perjalanan kehidupan dan perjuangan Rasulullah Saw. Bahwa hijrah yang dilakukan bukan sekedar berpindah dari buruk ke baik, tapi untuk menyelamatkan ajaran besar untuk mencapai tujuannya sebagai rahmatan lil alamin.

Dan ternyata ini lah yang sering terlupakan. Hijrah dimaknai dalam skup yang lebih sempit, skup pribadi, bahkan skup akhlak atau adab semata. Padahal akhlak dan adab yang Islami dihadirkan dari pemahaman akidah dan pelaksanaan syariat yang lurus. Harusnya hijrah sebagai proses dakwah penyebaran ajaran Islam jangan dilupakan. Itu lah yang membuat para sahabat sepakat menentukan tahun pelaksanaan Hijrah sebagai tahun awal kalender Islam.

Setiap tahun para sahabat diingatkan pada momen menegangkan, yaitu saat Rasulullah dan para Muhajirin berpindah untuk menyelamatkan misi hidup ke Madinah. Menyelamatkan gerakan dakwah yang akhirnya membuat kita yang hidup berjarak 14 Abad dari Beliau bisa mengenal dan hidup berdasar ajaran itu. Maka jika para sahabat begitu gigih bersemangat mengajarkan Islam ke penjuru dunia, maka apakah semangat itu juga yang kita pegang?

Kadang kita terjebak dengan banyaknya kemudahan dan jumlah yang mayoritas. Karena mudah melaksanakan ajaran Islam, maka peran sebagai duta agama terlupakan. Apalagi jika mengingat bahwa dakwah itu seolah hanya tigas ulama saja. Padahl dalam sebuah keyakinan yang dipegang pasti ada konsekuensi untuk memperjuangkan hingga nyata sebagai identitas diri.

Persepsi Dakwah yang terlalu tinggi, terlalu berat hingga banyak yang memilih mundur dari jalan ini. Memang dakwah adalah jalan yang sepi, yang berdebu dan penuh onak dan duri. Dibutuhkan bukan hanya tekad yang kuat tapi juga penerimaan tugas sepenuh hati. Belum lagi saat ujian beratnya dakwah yang bisa membuat semangat dan niat tulus aus. Tapi yakin saja, ujian yang dihadapi tidak ada seujung kuku hitam dari yang didapat para Rasul dan Anbiya.

Rasanya ingin sekali menyenandungkan nasyid dari Saujana yang isinya pas sekal. Tentang beratnya tugas dan jalan dakwah, hingga sering terlupakan. 

Sekeping Hati 
by Saujana

Sekeping hati dibawa berlari
Jauh melalui jalanan sepi
Jalan kebenaran indah terbentang
Di depan matamu para pejuang

Tapi jalan kebenaran
Tak akan selamanya sunyi
Ada ujian yang datang melanda
Ada perangkap menunggu mangsa

Akan kuatkah kaki yang melangkah
Bila disapa duri yang menanti
Akan kaburkah mata yang meratap
Pada debu yang pastikan hinggap

Mengharap senang dalam berjuang
Bagai merindu rembulan di tengah siang
Jalannya tak seindah sentuhan mata
Pangkalnya jauh hujungnya belum tiba


Wallohu a'lam bishowab ***
Sayair diambil dari :  http://liriknasyid.com/index.php/lirik/detail/759/saujana-suci-sekeping-hati.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar