Rabu, 16 Maret 2016

Ibu dan Sinetron

Entah sudah berapa lama saya tidak nonton atau mengikuti sinetron. Selain karena memang tidak punya jadwal nonton tivi setelah maghrib, saya lebih memilih kegiatan membaca buku dibanding menikmati cerita yang ditayangkan hampir tiap hari. Semalam saja saat suami pulang, suami sempet ngelirik buku yang saya baca, buku tentang para pahlawan yang terlupakan oleh negeranya sendiri. Itu sebenarnya buku pinjaman si sulung dari perpustakaan. Bukunya cukup tebal dan harus dia review atau simpulkan setelah selesai membacanya dalam waktu 1 minggu.

Sebenarnya bukan karena ingin menjadikan buku itu sebagai pengantar tidur hehehe ( inget ada teman yang bilang kalau baca bisa membuatanya langsung ngantuk ). Tapi saya ingin mengetahui buku macam apa yang anak saya baca. Dan saya juga ingin berdiskusi dengannya saat dia membuat ringkasan. Kan asyik tuh... 

Nah, berbicara tentang sinetron saya ingat dulu nenek saya pernah kegandrungan sinetron yang lagi nge hits di era 2000 awal. Saya saja sempet kaget, kok bisanya nenek saya demen ama cerita gituan. Cerita yang lebih menonjolkan penderitaan dan ketidakadilan. Sebelumnya, saat sinetron belum booming, ada juga tuh jamannya telenovela berjaya. Ampun... itu efeknya bukan hanya ke penamaan anak, tapi juga ke model baju ikut-ikutan pakai nama tokoh telenovela hehehe. Nah, sekarang setelah jaman drama Korea agak surut, munculllah drama-drama ala India yang memikat. Dmulai dari Mahabarata sampai gak tahu lagi tuh judul-judul yang berseliweran di layar kaca. Ada juga yang mengusung produksi negeri Turki. 

Saya dan dua orang ibu yang tidak pernah nonton sinetron dibuat melonggo. Serasa jadi makhluk planet lain yang lagi melancong ke bumi. Sementara ibu-ibu masih bicara tentang tontonan yang katanya kekinian itu, saya malah sibuk mikir. Beberapa waktu lalu, saat ibu saya berkunjung beberapa hari karena si kecil harus dirawat di RS, anak-anak terbiasa nonton tivi setelah maghrib. Dan yang ditonton ya sinetron. Dari mulai tukang bubur and the gank sampai sinetron yang lainnya. Ketika Mbah Uti dah kembali ke kampung, anak-anak masih sempat meniru kebiasaan yang sudah berlaku hampir 3 malam. hanya 3 malam tapi hasilnya kuat banget. Sulit untuk mengembalikan jadwal no tivi after maghrib.

Bayangkan yang setiap hari melihat sinetron, pastinya akan menjadi kebiasaan bahkan menjadi candu. Hidup gak bisa kalau gak lihat tivi dulu. Belum kalau inget cerita hari kemarin, wah bisa-bisa nyesel sampai ubun-ubun kalau sampai kelewat. Padahal tidak ada keuntungan apa pun yang didapat setelah nonton sinetron. Karena kalau diamati sinetron kita itu mirip drama India dan telenovela. Ceritanya tak jauh dari masalah percintaan, selingkuh, pengkhiatanan dibumbui sedikit masalah keluarga. 

Apalagi kalau yang nonton adalah anak-anak, bisa jadi isi kepala anak-anak adalah sinetron doang. Rugi sekali, otak atau kecerdasan anak hanya diisi oleh hal-hal yang tidak diperlukan. Malah bisa memenuhi memori sehingga saat otak diperlukan untuk mencerna pelajaran atau hal-hal yang positif malah tidak berfungsi karena terlanjur tumpul karena jarang dilatih. Beda ceritanya kalau otak atau akal dibiasakan dengan menghapal dan membaca Al- Qur'an. Justru akan akan menjadi lebih jernih dan cerdas. Demikian juga jika dipakai untuk membaca, maka akal akan berkembang dan memiliki pengetahuan yang lebih luas.

Sedihnya, itu memang yang terjadi. Para ibu yang sibuk membicarakan sinetron justru nonton dengan anak-anak. Bukan  remaja ( SMP atau SMA )walau cerita dramanya memang tentang dunia ABG, tapi dengan anak SD bahkan ada juga yang TK. Hemm..., jadi kalau sekarang anak TK atau SD banyak yang sudah bangga punya pacar, naksir si ini atau si eta, ya karena memang mereka sudah terbiasa melihat hal itu. Bahkan diijinkan oleh ibunya. Karena biasanya sang ibu nonton bareng bukan untuk memberi pengertian atau pengawasan, malah seringnya si ibu ikutan baper hehehe


Jadi kalau suatu hari mereka menemukan anak-anak mereka tumbuh dewasa sebelum usianya atau dewasa premature jangan salahkan jaman modern ini. Tapi perlu mawas diri, apa yang selama ini sudah mereka perlihatkan pada anak. Ingat, ibu adalah sosok pertama yang akan dijadikan tempat bertanya dan sosok yang ditiru oleh anak. Ibu yang giat belajar, akan menjadikan anak-anaknya gampang belajar. Ibu yang rajin membacakan Al Qur'an di rumah, akan membuat anak-anaknya ingin belajar membaca Al Qur'an, minimal sebaik ibunya. Anak akan bisa diajak berdialog, jika memang para ibunya menyediakan waktu berdialog dari pada meluangkan waktu duduk diam di depan tivi. 

Like Mother Like Daugther, saya pernah menulis itu dalam buku Surat untuk Muslimah ( Ayesha el Himah-Quanta Elex Media 2015 ),  ...intinya, jadilah orang tua yang baik tanpa perlu memaksa anak menjadi baik. Orang tua yang baik pasti akan lebih mudah memberi contoh yang baik pula. Sifat anak yang suka meniru, maka anak pun dengan sendirinya akan meniru apa yang kita lakukan.

Karena tidak ada siapa pun yang mau dipaksa, apalagi anak. Maka, berilah mereka bimbingan, arahan, nasehat dan pendidikan disertai contah nyata dari orang terdekatnya yaitu ibu. Jadi, dari pada menyalahkan faktor eksternal seperti perkembangan jaman, pergaulan bebas, dan fenomena-fenomena lain, sudahkah kita kaum ibu instrospeksi diri. Sudah betulkan teladan yang kita berikan untuk anak-anak kita, atau selama ini justru kita kaum ibu yang sudah banyak merusak anak?*** Wallohu a'lam bishowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar