Rabu, 10 Februari 2016

Karena Anak-anak Sangat Berharga

Sebelumnya saya pernah menuliskan status di FB yang tentu saja panjang kali lebar tentang kewaspadaan yang harusnya dimiliki oleh seorang ibu. Apalagi ditengah banyaknya gempuran paham-paham yang aneh-aneh. Jika kita mencoba memaklumi maka hasilnya yang kita lihat sekarang. Jika dulu, orang akan merasa jijik terhadap tingkah kemayu laki-laki, sekarang para remaja kita banyak yang bergfaya seperti itu. Karena mereka mengikuti idola mereka yang ada di layar kaca.

Pada tayangan anak-anak pun, jangan merasa aman. Bahkan untuk ukuran kartun santun produksi negeri jiran pun ada juga tokoh Abang Sally yang kemayu dengan tato alis super tebal. Jika kita merasa aman, maka lama-lama anak-anak laki-laki kita merasa biasa dan tidak malu berlenggak-lenggok macam tokoh itu. Atau berbicara dengan gaya wanita, ya Allah... naudzubillah.

Bagi kalangan remaja pun jangan maklumi masa puber yang biasanya menjadi alasan boleh mencoba apa pun hanya dengan alasan mencari jati diri. Menurut Irawati Istadi dalam buku Mendidik Anak dengan Cinta, Bangun Karakter Remaja,  banyak yang salah mengartikan masa puber. Masa puber disebut masa kebebasan, masa melakukan kesalahan. Hingga kesalahan bahkan tingkah remaja yang bisa dikategorikan nakal pun dimaklumi. Maka, orang tua akan merasa tidak berani meminta remaja putrinya menutup aurat karena katanya mereka masih mencari jadi diri, atau ingin berjilbab dengan keinginan sendiri. Atau saat remaja putranya asyik dengan gank yang kadang ulahnya lebih sering mengganggu mereka pun merasa maklum.

Padahal dalam Islam, tidak mengenal masa puber. Masa baligh adalah masa dimana seorang anak memasuki alam kedewasaan. Hingga amal mereka pun sudah mulai diperhitungkan. Amal baik akan menjadi bibit kesalihan dan pahala. Demikian amal buruk pun akan menghasilkan dosa dan bibit kedurhakaan. Peran orang tua juga bukan hanya memaklumi dan membiarkan tapi mendidik mereka dengan acuan yang jelas, dewasa dan mandiri.

Apalagi dengan serbuan pudaya K-Pop dan J- Pop yang datang tanpa batas. Kaum remaja betul-betul butuh pendidikan, bimbingan dan pengawasan yang pas. Karena banyak paham-paham yang disusupkan terhadap tayangan drama yang memikat mata dan lagu-lagu yang melenakan. Seperti paham kebebasan, cinta yang dibumbui adegan dewasa, gaya hidup yang menonjolkan penampilan atau chasing semata, gaya hidup instan tanpa mau bersusah payah, isue LGBT dan juga paham-paham zionis yang ada dalam paham matrealis dan liberalis.

Mereka membalutnya dalam drama-drama dengan jalan cerita memikat dan juga lagu-lagu yang easy listening. Belumlagi dukungan dunia dan media. Bayangkan sampai ada teve nasional yang memasukkan berita tentang berita Negeri Kimchi termasuk artis-artisnya. Kadang saya sampai bingung plus eneg, sampai segitunya kah remaja kita teracuni K Pop, hingga kabar selebritisnya pun wajib diikuti.

Padahal di negara mereka sendiri, mereka begitu ketat mengatur tentang jam tayang. Drama dewasa walau pun bentuknya kartun dtetap diputar jam 10 malam ke atas. Demikian juga dengan artis-artis di bawah umur diatur juga dalam hal penampilan. Karena mereka ingin generasi penerus mereka tetap terjaga.

Saya jadi ingat percakapan saya dengan seorang teman yang kini sedang belajar di Eropa. Dia sampai merasa lebih nyaman tinggal di sana, dibanding di Indonesia. Salah satu komentarnya seperti ini : Disini anak-anak dianggap aset berharga. jadi dilindungi dari segala bahaya dan kekurangan. diberi fasilitas belajar yang luas dari sejak belum lahir sampe SMA. Di sini Mall cuma satu beda banget sama di Indo ya..., sengaja katanya tapi perpustakaan satu tiap kelurahan, taman juga satu tiap kelurahan. Jadi biar remaja mereka dilindungi dari matrealisme.

Sungguh ironi kan, di saat negara muslim seperti Indonesia digempur habis-habis an dengan ghazwul fikrri dan kita merasa bangga saat mengikuti tingkah polah mereka. Padahal mereka sendiri sangat protektif menjaga aset mereka yang berharga, anak-anak , generasi penerus. Di saat kita begitu bangga memberi kebebasan pada kaum remaja, mereka pun tetap melindungi anak-anak mereka dengan memberi pendidikan yang memadai. Minimalnya agar anak-anak bisa memilih mana yang baik dan mana yang tidak. Di saat kita menyerahkan anak-anak dalam asuhan gadget dan televisi, mereka justru menjadikan buku dan perpustkaan sebagai wahana belajar. Sungguh ironi...

Nah, agar jangan hanya terkaget-kaget, marilah kita menjadi orang tua yang lebih peduli pada anak-anak. Bukan hanya keselamatan fisik yang kita, tapi juga seluruh aspek. Bukan hanya pendidikan dunia yang didapat, tapi juga pendidikan agama. Minimalnya, seorang ibu mau duduk bersama dengan anak, menemani dan memilihkan apa yang baik untuk anak. Ya... jangan abai, jangan merasa aman. Tetaplah waspada.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar