Senin, 07 Desember 2015

Seni Menghargai Anak

"Bu, bagaimana cara ngajarin anak belajar? bagi tips nya dong?" Lalu pesan yang lain mbrudul  bak daun gugur di musim angin ( di Indo kan gak ada musim gugur hehehe ). "Anak saya ini nilai-nilainya bagus-bagus Bu, banyak 10 nya. Tapi pas dapat nilai 6 atau 7 satu saja, saya langsung sewot."

Saya membayangkan teman saya yang ibu muda ini pasti sedang senewen berat. Tapi saya tidak menyalahkannya. Hemm.., biasanya anak nomer satu mengalami hal seperti ini. Inclucing me hehehe. Dan, seringnya tanpa sadar setelah anak sulung ini memiliki anak akan mengulang hal yang sama pada anaknya. Persis yang saya lakukan pada sulung saya yang kini sudah duduk di kelas 2 SMP.




Saya pernah merasa begitu senewen saat menghadapinya. Mungkin karena ekspektasi saya terlalu tinggi. Saya sangat bangga pada si sulung yang usia 5 bulan sudah bisa menggunakan pispot untuk BAB dan BAK. Perkembangan fisiknya juga oke. Berjalan dan berbicara tanpa hambatan. Dia juga tipe anak yang mudah belajar. Bahkan ketika anak-anak yang lain masih susah duduk manis untuk belajar atau mengaji, sulung saya tidak mengalaminya. Dia termasuk anak manis, penurut yang pintar.

Sayang, semua itu bukannya saya syukuri. Saya malah semakin menambah target di pundak kecilnya. Setiap dia merasa capek dan ingin bertingkah sebagai anak kecil, bermain dengan teman sebaya atau adiknya, saya menunjukkan rasa tidak suka. Saya juga terlalu protektif dan otoriter. Akibatnya, dia tumbuh menjadi anak yang ordinatif ( penurut karena terpaksa ) dan tidak ada inisiatif.

Saya baru sadar ketika dia masuk SD. Pembawaannya yang kikuk dan pendiam membuatnya tidak punya banyak teman. Kemampuannya di bidang akademis tidak dibarengi dengan kemandirian dan keberanian. Dia cenderung penakut dan mudah trauma. Fisiknya tetap kecil, kalah oleh adik-adiknya yang mulai menyusul.

Saya sadar saya harus konsultasi dengan psikiater dan guru kelasnya. Maka, saya pun betah berchatting lama-lama atau menulis inbox panjang seperti ular naga untuk seorang teman yang kebetulan lulusan psikolog dan pernah menangani anak-anak SD.  Dan saya sangat kaget saat berbincang dengan gurunya, ternyata gurunya memberikan penghargaan yang besar terhadap anak saya. Penghargaan yang mungkin jarang saya berikan pada anak.

Saya pun merenung dan mulai memilah, dari semua ini siapa yang sebenarnya bermasalah, anak atau orang tua? Anak dengan segela kekurangannya baik dari kedewasaan dan pemahamannya, melakukan kesalahan, kekonyolan, bahkan keegoisan adalah hal yang wajar. Tapi bagi orang tua, pastinya menjadi catatan khusus jika masih bertingkah seperti itu. Memaksakan keinginan atau harapan pribadi pada anak.

Better late than never, saya pun mengubah pola pandang dan pola asuh saya pada anak-anak. saya mulai memahami bahwa anak-anak dengan pola pikir mereka pun sebenarnya sangat pengertian. Anak yang biasanya mendapat nilai bagus akan merasa begitu gelisah ketika mendapatkan nilai biasa saja. Karena dia sudah paham apa yang akan diterimanya dari si ibu, pasti kekecewaan. Dan bagi anak, itu adalah beban karena dia sudah membuat orang yang paling disayanginya kecewa hemm...


File:Dr. Rintaro-p1.jpg
http://asianwiki.com/File:Dr._Rintaro-p1.jpg

Baru-baru ini, saya mendapat pelajaran baru agar lebih menghargai anak. Pelajaran yang betul-betul touching heart ala drama jepang Dr Rintaro The psychiatrist ( Dr. Rintaro Sang Psikiater ). Kalau tidak salah pas episode ke 6, dimana Masato Sakai ( dr. Hino Rintaro ) sedang menerapi anak autis yang juga anak dari rekan dokternya di rumah sakit. Singkat cerita si anak akhirnya mau mengikuti serangkain tes yang sudah ditolak oleh ibunya. Dalam dialog dengan dr. Rintaro si anak menjelaskan bahwa alasan dia melakukan semua itu hanya karena tidak ingin ibunya cemas. 

Asli, saat melihat episode ini saya mewek hiks. Karena menyadari bahwa anak dengan seluruh dunianya ternyata memahami apa yang ada di sekelilingnya. Tentu saja sesuai persepsi anak. Anak-anak ternyata sangat peka terhadap apa yang dihadapi orang tuanya. Jika orang tua mencemaskan anak, maka anak pun akan mencemaskan orang tua. Jadi ketika dia berbuat yang terbaik atau membuat sebuah prestasi bisa jadi bukan karena dia suka, tapi karena dia tidak ingin orang tua khususnya ibu merasa cemas.

Hemm..., saya jadi berpikir, bisa jadi selama ini saya malah sudah memberi beban kecemasan pada anak. Ketika saya uring-uringan menyuruh mereka belajar, menghapal Al Quran atau meminta menyuruh mereka sholat, ternyata bukan itu yang anak-anak tangkap. Bukan perintah saya, tapi kecemasan atau lebih tepatnya kekesalan saya :(

Jadi sebaiknya, perbanyak menghargai anak. Ketika melihat kesalahan atau kekurangan anak, munculkanlah kebaikan dan kehebatan anak. Bisa jadi anak tidak terlalu pandai di sekolah, tapi dia memiliki hati yang tulus yang penuh empati. Atau bisa jadi anak termasuk biasa-biasa saja, tapi keberaniannya juara. Dia bisa bergaul dan menempatkan diri dengan baik di tengah teman-temannya. Itu juga sebuah prestasi yang harus dihargai.

Pernah saya ngeluh ke gurunya si bujang, kalau dia itu begini... begitu kalau di rumah. Bu Guru yang dari tadi menyimak curhatan saya cuma tersenyum. Dia malah berujar, "Bagi saya, Zuhdi sudah termasuk hebat dan baik. Memang ada kekurangan tapi itu lah anak-anak. Anak laki-laki memang seperti itu Bu, mereka cenderung banyak bergerak dan senang bermain."

Saya jadi malu sendiri, kok saya sibuk mengeluh tanpa melihat kelebihan anak. Sibuk berprasangka buruk meminimkan prasangka baik. Padahal apa yang akan didapat adalah apa yang kita persangkakan biasanya. Akhirnya, sekarang saya tahu bagaimana agar dapat lebih menghargai anak, jika kita menemukan keburukan anak, munculkanlah satu saja kebaikan anak. bayangkan jika satu hari kita bisa mengumpulkan satu kebaikan anak, maka dalam sebulan ada 30 kebaikan anak. Wow..., bukankah itu yang pantas dan sepatutunya dihargai dan disyukuri ? ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar