Senin, 10 Agustus 2015

Antara Orang Tua dan Doraemon


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAsI0hbllG8I6UuNhapl33jKvAVS46d5bCpJjuhrAy9yqs6_VZdn521ypzlU2T40qPO1-NgGCLiZRqNFnSNcAd_sgRwcv34TbD5oWXqlpusAywO5cq8X4SVLonQclnecfyYH6ZPXNcXyt2/s1600/autosurf_lo2_10.gif
Tiba-tiba Hp saya berbunyi, pertanda ada pesan yang masuk. Dan ternyata kiriman pesan dari Ibu Guru si pengais bungsu. Bagi saya yang suka membaca, apalagi tulisan tentang parenting, itu adalah hal yang membahagiakan. Maka, sesuai pesan dari Ibu Guru, saya pun meng-share tulisan itu ke grup Bunda Paud yang saya ikuti. Mungkin karena tulisannya sangaaaat panjang, tidak per point, jadilah postingan di grup itu malah tidak dibaca oleh ibu-ibu. Yah..., mungkin mata mereka lelah hehehe.

Tulisan itu sebenarnya, tulisan seorang tokoh yang cukup populer. Temanya, adalah tentang orang tua yang terbiasa atau terlalu cepat membantu anak-anak mereka. Hingga, generasi muda Indonesia umumnya, adalah generasi yang lembek. cenderung tidak mandiri, dan tidak bisa susah. " Saya pernah meminta mahasiswa saya untuk coba kuliah atau pergi ke negara lain benar-benar asing buat mereka. Maksudnya sih, biar para mahasiswa muda ini berani menghadapi tantangan baru dan mengerahkan daya upaya untuk bisa survive. Nyatanya, jauh hari orang tua mahasiswa ini sudah menitipkan anak mereka ke kerabat atau kenalan yang tinggal di negera lain itu. Atau mereka mau merogoh kocek untuk menyewa travel perjalanan dan uang saku yang cukup. betul-betul memanjakan anak." itu inti tulisan yang saya kutip dengan bahasa saya sendiri ya...

Yup..., memang orang tua jaman sekarang tidak tega kalau melihat anak-anak mereka susah. Agar anak bisa mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik, bahkan selalu menduduki ranking tiga besar, mereka tidak sungkan-sungkan menggelontorkan sejumlah rupiah untuk biaya bimbel, atau les ini itu. Saat anak mengikuti sebuah perlombaan, atau bahkan ulangan umum, orang tuanya yang stres. Saat anak pergi kemping, orang tuanya membekali banyak uang saku berlimpah, padahal anak-anak mereka kamping di hutan yang jauh dari toko :). Agar anak anteng tidak merengek keluar rumah, orang tua menyediakan tab dan aneka game yang membuat anak diam asyik. Setiap ditanya para orang tua ini berdalih, "Semua kami lakukan karena sayang, bukan untuk memanjakan anak."

Ada kesamaan orang tua seperti ini dengan Doraemon. Tokoh robot kucing yang selalu menolong Nobita. Bahkan mewujudkan hampir semua keinginan Nobita yang bisa jadi diluar kewajaran hehehe ( ajaib malahan ya...). Di awal cerita, sebenarnya Doraemin dikirim oleh keturunan Nobita yang hidup di masa depan. Tujuannya, agar Nobita tumbuh menjadi anak yang pintar, kuat, bersemangat hingga  bisa membuat anak cucunya bangga ( ini anak cucunya repot bangetnya mikirin sang kakek hehehe). Rupanya, alat-alat yang dimiliki Doraemon justru membuat Nobita menjadi anak yang malas, cengeng, manja dan tidak sabaran. Itu lah yang membuat film kartun ini menarik, karena diangkat dari cerita sehari-hari plus imajinasi tapi tetap dengan pesan moral yang kuat. Kalau mau pintar ya belajar, kalau mau sukses ya berusaha dulu... enggak ada cara instan.

Memenuhi semua keinginan anak termasuk cepat memberi pertolongan pada anak bukanlah cara yang tepat menujukkan rasa sayang. Karena bisa jadi saat anak mengalami kesulitan, itu lah waktu dimana dia harus mempelajari sesuatu. Saat anak mendapat peer yang susah, itu adalah waktu agar anak belajar dan mau membaca pelajaran yang diberikan sebelumnya. Atau kalau pun dia harus mencari sumber referensi, biarkan dia bertanya dan menemukannya sendiri. Atau saat anak mendapat prakarya, ibu-ibu tidak perlu buru-buru memberikan pertolongan. Karena bisa itu adalah saat untuk melihat minat dan bakat anak. Juga kesempatan agar anak berekspresi dengan imajinasinya.


Nah, agar tidak menjadi orang tua yang seperti Doraemon, ada baiknya orang tua melakukan beberapa langkah berikut:

1. Jangan Terlalu Cepat Memberi Pertolongan pada Anak
Menurut Carol Dweck, psikolog dari Stanford University bahwa hadiah terpenting dan terindah dari orang tua pada anak-anak adalah tantangan.  Sungguh, pendapat yang bikin saya merenung. bisa jadi saat anak mengalami kesulitan, ada hal yang tidak kita sadari, bahwa pada saat itu Allah sedang mengajari dia untuk menggunakan akalnya. Hingga dia bisa menemukan pintu-pintu penyelesaian yang kadang tidak ditemukan di buku catatan mana pun. 
Saat kuliah, pernah saya mendapatkan nilai A untuk ujian di mata kuliah gempa. Pak dosen waktu itu sangat suprise dengan cara saya mengerjakan soal ( hehehe, aslinya saya gak tahu teori dan rumus mana yang harus saya pakai).  Dan mungkin karena beliau sudah pernah kuliah di luar negeri, dimana ide itu sangat dihargai, maka meski hitungan saya tidak melalui rumus yang tepat tapi dari sistem kurva pencerminan ala saya ( duh... sampai kaget seisi kelas waktu itu dan ekspresi mereka seperti ngomong gini, "asli gak terimaaaaa!") beliau tetap memberi penghargaan pada saya.

2. Percaya pada Kemampuan Anak
"Bu, bekal makan siang Teteh gak kebawa ya?" Suara sulung saya terdengar dari seberang.
"Iya, tadi Adik yang bawa masuk lagi. Katanya tertinggal di kursi teras. Kenapa teteh lupa ya?"
"Iya, kayaknya tadi pas jemputan datang teteh langsung lari dan lupa bawa bekel padahal ditaruh di deket teteh duduk."
"Lalu sekarang bagaimana?" Saya menunggu keputusan si sulung.
"Gak papa deh, buat Adik saja. Nanti Teteh bisa makan barenga sama teman di sini." Klik, sambungan pun terputus. Pulang sekolah saya membayangkan wajah putri pertama saya cemberut karena kelaparan, nyatanya dia tersenyum ceria dan bercerita kalau tadi teman-temannya berbagi nasi dan lauk dengannya. "Tapi tetep bekal buatan Ibu yang paling enak, besok-besok Teteh gak akan teledor lagi sampai ketinggalan bekal makan siang.

Sebagian orang bisa jadi berpikir saya adalah ratu tega hehehe. Tapi saya memang membiasakan anak-anak untuk mengambil keputusan. Menurut Irawati Istadi, banyak orang tua yang masih belum percaya pada kemampuan anak mereka. Mereka belum rela melepas anak-anak untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Padahal Allah Swt., sudah memberikan akal dan kemampuan. Justru masalah itu adalah latihan agar kemampuan mereka makin terasah.

hasil prakarya Teteh Adzkiya dari baju bekas-dok.pribadi
 3. Menghargai Anak
Satu lagi yang sering kali orang tua belum rela melakukan, menghargai usaha anak. Bisa jadi karena perkembangan usia anak yang belum dewasa, cara mereka menyelesaikan masalah pun jauh dari kata bagus apalagi sempurna. Sering kali orang tua merasa kecewa saat anak hanya dapat nilai biasa-biasa saja setelah anak bersusah payah menyelesaikan peernya. Padahal nilai berupa angka bukan hasil akhir yang ingin dicapai, tapi pengalaman anak dalam menyelesaikan masalah adalah harta berharga bagi anak.  Mestinya orang tua memberi pujian dan penghargaan pada anaknya yang sudah mau mengerjakan peer sendiri, walau masih ada yang salah. Dan menahan diri dari mengulurkan bantuan atau malah mengambil buku peer anak langsung demi mendapatkan nilai sempurna.***


Di ambil dari beberapa sumber dan buku Mendidik Anak dengan Cinta by Irawati Istadi.
Sumber gambar Doraemon : 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAsI0hbllG8I6UuNhapl33jKvAVS46d5bCpJjuhrAy9yqs6_VZdn521ypzlU2T40qPO1-NgGCLiZRqNFnSNcAd_sgRwcv34TbD5oWXqlpusAywO5cq8X4SVLonQclnecfyYH6ZPXNcXyt2/s1600/autosurf_lo2_10.gif





 

2 komentar:

  1. Ibuu tulisannya bermanfaat sekali buat calon ibu kaya aku hehe.. semoga selalu menginspirasi ^_^

    BalasHapus