#BeraniLebih ala saya...
Berani kok pelan atau malah mundur? Pastinya ini yang ada dalam pikiran pembaca semua. Ya...,
terkadang berani itu bukan berarti harus tampil paling di depan, atau terlihat
sepak terjang yang bisa membuat setiap mata terbelalak. Bisa jadi keberanian
juga ada ketika kita memutuskan untuk sedikit mengerem langkah agar kita bisa
melihat bahwa di belakang kita pun ada orang yang sudah sangat berjasa pada
diri kita.
Saya adalah orang yang selalu melakukan apa yang saya inginkan. Bahkan cenderung
over power, hingga terkesan grusa-grusu ( dalam bahsa jawa artinya tergesa-gesa
). Bahkan setelah menikah, sifat saya yang satu ini tidak hilang. Saya selalu
melakukan apa pun karena menurut saya benar. Dan biasanya tanpa meminta
pertimbangan atau pendapat dari orang yang terdekat dengan saya khususnya
pasangan. Saya selalu berpikir, toh ini saya lakukan untuk keluarga.
Terlebih, tidak ada yang dirugikan, bahkan saya bisa memberi banyak keuntungan
untuk keluarga dari segi finansial.
Nah, saya juga selalu memandang apa pun dari kaca mata perlombaan atau
pertandingan. Dan saya, adalah orang yang selalu ingin menang. Dan itu terus
terbawa hingga saya menjadi seorang istri bahkan menjadi seorang ibu. Siapa
lagi orang yang bisa saya jadikan lawan kalau bukan pasangan? Ya..., itulah
yang selalu ada dalam benak saya, suami adalah rival yang harus saya kalahkan.
Dan saya adalah orang yang ingin disebut punya peran besar dalam kemajuan
keluarga ini.
Saya tahu, bahwa harusnya bukan seperti itu dalam berumah tangga. Seperti
kata guru ngaji saya, bahwa dalam berumah tangga itu yang ada harusnya
patnership dan kasih sayang. Bahwa rumah tangga adalah kerja team antara suami
sebagai kepala keluarga, istri dan anak-anak sebagai anggota keluarga. Maka,
ketika ada kesuksesan adalah karena kerja semua pihak. Dan jika ada kegagalan,
maka itu pun dirasakan oleh semua orang.
Berkali-kali saya memikirkan apa yang harus saya lakukan. Dalam agama saya,
istri seperti saya bisa jadi dicap sebagai istri durhaka yang tidak pantas
mencium aroma syurga. Tapi dalil itu pun tak membuat saya berubah sikap. Lalu,
ketika saya merasa begitu nelangsa dan tidak bahagia dengan kondisi yang ada,
saya pun sadar, itu lah alasan yang saya perlukan. Bahagia, ya... saya ingin
hidup bahagia, bersama orang-orang yang saya kasihi dan menyayangi saya. Saya
ingin hidup bahagia tanpa harus mengalahkan atau menyepelekan orang lain.
Ya..., sungguh saya ingin bahagia!
Dan ini lah yang saya lakukan, mundur atau mengerem langkah saya sedikit.
Saya mencoba berjalan sejajar dengan suami dan anak-anak yang masih butuh
banyak bimbingan. Saya juga mulai memberi kepercayaan pada mereka bahwa mereka
pun mampu melakukan peran dalam keluarga. Dan suprise... subhanallah, saya pun
jadi melihat kelebihan yang ada dalam diri mereka, suami dan anak-anak. Suamiku
amat penyayang dan sabar. Dia adalah sosok sabar yang selalu mendorongku untuk
menekuni hobi dan duniaku. Sementara anak-anakku adalah sumber inspirasi
sebagai bahan pembelajaran tentang ketulusan, kemurnian dan kasih sayang.
So.., orang yang berani versi saya adalah orang yang berani menghargai orang
lain. Dan saya akan terus berusaha melakukan hal itu, hingga tidak ada
keinginan untuk menyepelekan peran sekecil apa pun yang telah dilakukan.
Semoga... Bismillah pasti bisa!***
Twitter : @el_himah ( https://twitter.com/el_himah )
Facebok: ummi ayehsa ( https://www.facebook.com/ummi.ayesha.com )
Tulisan ini diikutsertkan dalam Kompetisi Tulisan Pendek #BeraniLebih di Blog
Huuuu pengen nangis dah baca ini buuuu...
BalasHapus"Siapa lagi orang yang bisa saya jadikan lawan kalau bukan pasangan? Ya..., itulah yang selalu ada dalam benak saya, suami adalah rival yang harus saya kalahkan. Dan saya adalah orang yang ingin disebut punya peran besar dalam kemajuan keluarga ini."
ah pokonya speachless, cuma bisa membuat catatan kecil di hati, makasih ibuuuu atas tulisannya
aih... tak ada maksud lah ...hehehe, sawangsulna ceu :)
BalasHapus