Rabu, 03 Oktober 2012

Aku dan Buah Hatiku

Episode Nenab, Bunga Kenikirku

Tahun 2005
            Surprise dan senang, itu yang ada dalam hatiku saat gambar USG menunjukkan dua janin ada dalam kandunganku. Ini kehamilanku yang kedua, berarti jika dilancarkan semua urusan ini ,  aku akan langsung diamanahi 3 orang balita. Sulungku baru genap 2 tahun, dan sekarang kandunganku sudah memasuki usia 4 bulan. Deg- degan, tentu saja, karena perutku terasa lebih penuh. Saat tendanganan dan pukulan tangan bayi sudah mulai terasa, rahimku berubah layaknya arena tinju WWF, tendang sini, pukul sana, benjol sana,cekung sini, subhanallah..Pengalaman yang tidak semua wanita merasakannya bukan?
            Memasuki usia kandungan 7 bulan, dokter memintaku untuk badrest. Alasannya, bayiku dua – dua nya dalam posisi melintang. Rahim bagian atas kosong, bawah juga. Aku sih nurut – nurut saja. Kujalani dua minggu di atas dipan. Hanya beranjak ketika butuh ke kamar mandi, karena aku ogah disuruh pakai pispot apalagi cateter. selebihnya dilakukan di atas tempat tidur termasuk mengasuh si sulung.
            Selanjutnya Dokter Rini memintaku banyak melakukan gerakan nungging. “ Ambil positifnya aja, Bu. Lebih baik gerakan nunggingnya dengan bersujud. Wah..ibu bisa menambah dengan amalan shalat sunnah, jadi makin banyak deh sujudnya.”
            Setuju..!!! aku menyambutnya dengan gembira. Aku berpikir seperti anjuran dokter, sebagai media mendekatkan diri dengan Allah. Setiap malam, aku dan suami bermunajat memasrahkan seluruh masalah ini kepada Sang Pemilik Hidup.
            Yang tidak aku siapkan adalah melahirkan dengan operasi. Makanya, aku langsung stres saat mendengar anjuran dokter Rini.
            “ Operasi, Dok?” Aku sangsi. “ Kenapa?”
            “ Insyaallah usaha ibu sudah maksimal. Satu bayi sudah tidak sungsang. Tapi yang satunya posisinya masih sungsang dan kakinya menghalangi kembarannya untuk bergerak ke arah jalan lahir.”
            “ Apa memang tidak bisa diusahakan lagi, Dok? Masih ada 2 minggu lagi kan dari TP?”
            Wajah dokter kandunganku berubah tegas. Satu ekspresi yanghampir belum pernah kulihat sebelumnya.  “ Lebih baik dalam minggu- minggu ini, Bu. Menghindari hal – hal yang tidak diinginkan. Saya sendiri sudah heurin lihat rahim Ibu, sudah padat banget.”
            Puff…, aku masih bingung. Semangat yang coba dihembuskan suami seolah masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Inikah hasil akhirnya?
            Tanggal 16 Mei, pukul 13.30 aku memasuki ruang operasi. Melihat wajahku yang pias, dokter anestesi mencoba mengalihkan perhatianku. “ Wah..kembar ya, Bu?”
            Aku mengangguk kaku.
            “ Anak ke berapa Bu?”
            “ 2 dan 3.”
            “ Laki – laki atau perempuan?”
            “ Laki – laki dan perempuan, sepasang.”
            “ Alhamdulillah, komplit ya Bu?”
            Lamat – lamat kurasakan rasa kantuk menghampiriku. Sebelum kesadaranku hilang, kusempatkan melantunkan doa dan sejumput harapan, semoga disempatkan membuka mata dan melihat sepasang kembarku.
            Pukul 15.30 sebuah tepukan eh..lebih tepatnya tamparan menyadarkanku. “ Selamat, Bu. Bayi ibu sudah lahir. Laki- laki dan perempuan. Cepat pulih ya..?” Dokter Rini yang pertama kali menyambut kesadaranku.
            Rasa penasaran membuatku minta melewati ruang incubator, tempat kembarku dirawat. Keduanya lahir dengan berat yang hampir sama 2000gram. Terbayang kurus dan kecilnya mereka kan? Kusapa si jagoan dengan Zuhdi Ali dan si cantik yang ada di incubator sebelahnya dengan Zainab Khalisah.***

Tahun 2009
            Zainab atau lebih sering kupanggil Nenab, sudah genap 4 tahun. Tubuhnya gemuk, tapi masih dalam batas normal. Mukanya bulat, dengan mata besar yang indah. Kalo bicara lucu, fasih dan tidak cedal. Di telingaku, suaranya seperti berbentuk bulat – bulat yang membuatku gemas. Kadang, aku mesti menyadarkan diriku dan beristighfar berkali- kali saat mengagumi keindahan makhluk kecil ini. Takut terlena !!
            Menyadari dia sebagai anak nomor 2, aku memang memberi perhatian khusus. Karena, menurut Alfred Alder, bapak pencetus teori psikologi individu berdasarkan urutan kelahiran, bahwa anak nomor 2 biasanya cenderung bersifat susah diatur, sering dianggap keras kepala, sensitif, walaupun memiliki sifat mandiri dan juga mudah beradaptasi. Kebetulan semua teori Pak Alfred ada pada Nenab. Dia memang cenderung keras kepala, pemarah, sulit dimengeri. Ayahnya saja sering sekali merasa kewalahan menghadapi Nenab.
            “ Duh..ibu aja deh..” Kilahnya setiap gagal membujuk Nenab berhenti dari tangisannya yang lama dan konsisten banget dalam hal volume suaranya.
            Tidak mau berlama – lama bingung, aku langsung konsultasi ke temanku, Hani yang kebetulan seorang psikolog.
            “ Emang ada pendapat seperti itu, tapi sebenarnya itu terjadi karena anak nomor 2 kadang kurang dapat perhatian seperti layaknya anak sulung atau bungsu. So.., kasih perhatian dan kasih sayang yang sama aja, Non.” Ujar Hani lugas.
            “ Kasih pengertian juga sama saudara- saudaranya, bahwa meskipun bersaudara bahkan kembar sekalipun, mereka tetap pribadi yang berbeda, pribadi yang unik. Penanganannya pun kudu unik. Aku sih yakin kamu bisa..” Hani berusaha menyemangatiku.
            Gantian aku yang bingung. Terasa ada beban berat yang menggelayuti pundakku. Tapi bukankah amanah ini sudah datang padaku, pastinya aku juga sudah disiapkan dan dinilai mampu. Jadi..bismillah aja deh..
            “ Oke deh, Ni. Nuhun banget ya..”
            Aku memutar otak, mencari informasi di sana – sini, membaca buku parenting dan tetap berkonsultasi dengan Hani. Intinya, tetaplah berprasangka baik pada anak, dan berilah penilaian dengan kata – kata positif. Kedengarannya mudah kan? Tapi prakteknya lumayan susah. Pertama aku harus berkompak-ria dengan suami. “ Jangan pernah menyebutnya tukang cemberut. “ tegasku.
            “ Ya..bukan apa – apa bu, lihat saja wajah Nenab. Lengkungan bibirnya membuat wajahnya kusut. Ibu lihat lagi aja tuh foto pas dia baru dikeluarkan dari inkubator. Dia cemberut, Zuhdi tersenyum, sungguh sepasang lengkungan yang sempurna.”
            Mau tak mau aku tersenyum membayangkan foto si kembar yang memang persis gambaran suamiku. Tapi menjauhinya juga bukan solusi kan, pikirku yakin.
            Sebenarnya, aku sebagai ibunya yang harus lebih sabar mendengarkan hingga pesan yang ingin disampaikan Nenab saat dia berkomunikasi denganku sampai dengan jelas. Setiap Nenab bicara aku berusaha menyimak dengan baik. Menunjukkan antusias kala dia tertarik dengan sesuatu. Aku juga sering memberinya pujian, bahwa senyum Nenab manis sekali. Untuk menyemangatinya, aku bercerita kalau saat Nenab tersenyum, malaikat Rakib sedang mencatat amalan mulia. Terang saja, putri kecilku tersenyum lebar – lebar. Duhh..manisnya.
            Dibalik itu, Nenab punya sifat penyayang.  Apalagi terhadap Zuhdi, kembarannya. Setiap bangun tidur,  waktu makan, bahkan saat Zuhdi kena ulah si sulung, Nenablah yang membelanya. Dia juga mempunyai sifat pemaaf. Bahkan dia yang selalu mendo’akan ayahnya setiap dia selesai shalat maghrib. Setiap ayahnya merasa pusing atau aku yang merasa capek, dia selalu mengajukan pertanyaan polos yang bisa membuat mataku memanas.
            “ Ayah pusing ya, Nenab pijitin ya..??”
            Walaupun pijatannya lebih mirip gelitikan, kulihat suamiku  sangat menikmatinya. Aku mengingatkan agar dia lebih sering memuji Nenab. bukankah kata – kata positif sangat membangun harga diri anak dari pada celaan dan hinaan?
            “ Enak gak, Yah?”
            Subhanallah, enak sekali.”
            “ hehehehe.” Nenab tertawa memamerkan gigi susunya yang rapi.
            Mungkin karena pujian itu, setiap kali ditanya oleh siapapun tentang cita – citanya, Nenab selalu menjawab,” Mau jadi tukang pijit…!!”
            Ditahun yang sama, aku terpapar gejala Typus. Awalnya karena pola makan yang tidak teratur dan kurangnya asupan gizi. Jadilah badanku kalah diserang virus penyakit itu. Semalaman, tubuhku deman tinggi. Sudah minum parasetamol, tapi deman itu muncul lagi saat pengaruh obat hilang.
            “ Ibu mau dikompres ?” suara Nenab terdengar sangat dekat di telingaku.
            Ah, aku ingat, setiap kali dia demam dan di rumah sedang kosong obat turun panas pasti itu yang kulakukan padanya.
            Dengan tangan mungilnya, dia membasahi washlap dan menempelkan di keningku. Aku hanya bisa tersenyum dan berterimakasih dengan lirih.
            Esoknya, aku memutuskan ke dokter. Padahal, aku biasanya susah banget pergi ke dokter. Tapi membayangkan anak – anak tidak ada yang mengasuh, aku juga tidak tega. Pagi – pagi diantar suami, aku pergi periksa ke dokter langganan di komplekku. Nenab yang sudah bangun dan shalat subuh langsung menyiapkan jaket dan kaos kaki.
            “ Biar Ibu gak masuk angin.” Ujarnya polos.
            “ Nenab di rumah aja ya, sama Teteh dan Aa..” pesan ayahnya.
            “ Siap..laksanakan.” jawabnya lucu.
            Setelah menitipkan si kembar pada si sulung, aku dan suami menembus dinginnya pagi. Berrrr…, masyaallah dingin banget Bandung hari ini, keluhku dalam hati.
            Sepulang dari dokter, aku langsung jadi pasien di rumah. Melihat kondisiku yang lemah, suami memutuskan ambil cuti. Seharian dia jadi ibu rumah tangga, mulai dari sapu lantai, menyiapkan makanan sampai cuci piring. Karena hobinya beres-beres, Nenab pun mengajukan diri membantu ayahnya beres- berer kamar tidurnya dan ruang tengah. Hanya urusan baju kotor yang tidak tersentuh oleh mereka berdua. Biarlah, masih bisa besok di giling di mesin cuci.
            Disekolah, Nenab bercerita pada gurunya tentang kondisiku yang sedang sakit. Memang, dari laporan gurunya, Nenab lebih perhatian dan banyak bercerita dibanding Zuhdi. Dia juga mudah berempati dengan teman – temannya. Tapi juga sangat tegas dan kuat pendirian. Makanya, anak yang terkenal ‘jegger’ di sekolahnya saja sampai tidak berani menggodanya.
            Di akhir pertemuan, Nenab meminta guru dan teman – temannya berdoa buatku. “ Ya..Allah, sembuhkan sakitnya Ibu Nenab, amin..”***

 Tahun 2010
            Alhamdulillah, Allah menitipkan amanah lagi di rahimku. Nenab menunjukkan perhatiannya dengan cara unik. Setiap siang, setelah makan, dia akan menghampiriku yang sedang beristirahat sambil menenteng buku cerita. “ Hai adik bayi…, ini kakak Nenab. Kalo sudah besar aku pengin jadi dokter. Nah..yang sehat ya..Mau dibacakan cerita??” Ujarnya sambil mengelus perutku lembut.
            Dia juga yang selalu perhatian dengan pola makanku. Setiap kali waktu makan berlalu dan dia belum melihat aku memegang piring, dia pasti protes. “ Kok, Ibu belum makan, kasihan adik bayinya bu.., pengin maem tuh…”
            Tapi, tetap saja ada temanku yang memberi penilaian ‘agak berbeda ‘dari saudara – saudaranya. “ Ogo..( manja ) dan sulit dimengerti..!”
            Aku hanya tersenyum. Wajar – wajar saja kan orang memberi pendapat.
            “ Sebenarnya, dia terlihat judes karena bentuk mulutnya yang melengkung ke bawah. Mungkin karena waktu di kandungan dia memang jadi objek penderita kembarannya. Saat di USG dia sering terlihat kepukul atau ketendang. Bahkan pernah satu kali USG, kaki Zuhdi nangkring di keningnya hehehe, lucu tapi kasihan juga lihatnya.”
            Ohhh..gitu..
            “ Tapi dia mempunyai hati yang sangat cantik, senyum yang manis, ramah dan penuh empati. Jadi gak perlu operasi bentuk bibir kan..?”****

Untuk Nenab: Bunga kenikir ibu yang cantik dan penuh percaya diri. Walau cantikmu tak menghiasi jambangan, tapi menjadi penyejuk mata di tepi jalan. Semakin banyak orang yang mengetahui keunikan dan kelebihanmu, makin banyak cinta yang hadir dalam kehidupanmu. Selamat mengejar mimpi- mimpimu, Nak.
 By: Ayesha Elhimah ( pernah diikut sertakan dalam sebuah lomba menulis, tapi tidak lolos hehehe )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar