Belajar
dari Hajar, Belajar Tegar dan Mandiri
Sore itu, tiba- tiba teman saya
berkata,”Rasanya, saya belum menjadi istri yang mandiri deh.”
“Oh ya..? Kenapa?” tukasku setelah
meneguk sisa air di cangkir.
“ Apa- apa harus sama suami. Belanja
mesti sama suami. Urusan kran bocor, genteng pecah atau yang sepele seperti
air dispenser habis saja harus suami turun tangan. Apalagi untuk urusan yang
gawat seperti anak sakit. Saya enggak bisa ngebayangin kalau harus bawa anak
sakit ke dokter atau rumah sakit sendirian. Kalau dipikir- pikir apa aku ini
manja banget ya..hihi.”
Saya hanya terdiam. Kata- kata teman
saya mengingatkan pada episode- episode saat suami harus dinas keluar kota
selama hampir satu bulan lebih. Bagi saya yang biasa melihat suami ada di
rumah, minimalnya saat jam kantor selesai tentu bukan perkara mudah. Apalagi
sejak suami pergi ada saja kejadian di rumah. Dari mulai gas habis, persediaan
beras yang menipis sampai si sulung yang waktu itu harus daftar ke SD. Yang paling
membuat bingung tentu saja tiga anak yang kompakan sakit gondongan.
Mengeluh, rasanya tidak ada waktu
untuk mengeluh. Untuk mengabari suami kondisi di rumah saja sudah tidak tega.
Setiap malam saat dia menelepon saya selalu bilang kondisi rumah aman
terkendali. Itu saya lakukan agar dia tenang dan konsentrasi dengan tugas-
tugasnya. Ketika anak- anak sakit saya juga cuma cerita semua sudah ditangani. Sudah
ke dokter dan dapat obat. Suami waktu itu hanya berhamdalah dan minta maaf,
karena saya harus mengurus semua sendirian.
Jangan
tanya kerepotan dan pusing
yang saya alami. Bolak- balik ke dokter dengan ojek, begadang karena
rintihan
anak yang deman, atau pagi- pagi harus memasak bubur karena membuka
mulut saja
mereka kesakitan. Belum lagi mencari sekolah yang tepat untuk si sulung
mengharuskan saya keluar kompleks dan turun naik angkot. Saya juga
harus memutar otak dan mengnencangkan ikat pinggang karena pengeluaran
yang tiba- tiba membengkak. Duh…, saya juga tidak memungkiri kalau
sempat menangis dan
mengeluh sama Allah SWT. Tapi waktu itu yang terlintas dalam pikiran
adalah ini
tugas saya, tugas sebagai kepala rumah tangga yang saat itu sedang
dititipkan
suami. Bismillah laa haulaa walaa quwwaata illaa billah, hanya itu
penyemangat
saya waktu itu.
Dari kejadian itu saya memahami,
menjadi istri yang mandiri bisa jadi menjadi suatu keharusan. Seorang istri bukan hanya pendamping suami, yang
hanya mau dipimpin, diatur, diayomi dan dibantu dalam tugas- tugasnya. Perlu dipahami
bahwa seorang istri adalah pimpinan di rumah yang tugasnya mengatur rumah. Artinya,
segala sesuatu urusan rumah termasuk anak menjadi tanggung jawabnya. Dalam
sebuah hadist, Rasulullah pun mengingatkan bahwa setiap manusia akan diminta
pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Dan seorang istri akan diminta
pertanggung jawaban tentang rumahnya ( yang menjadi wilayah kepemimpinannya).
Profil istri mandiri yang bisa
dicontoh sangat jelas pada sosok Hajar, istri Khalilullah Ibrahim as. Dimulai
dari dia dan bayi Ismail dikirim Ibrahin ke tempat yang jauh dari kehidupan.
Yang masih sepi dengan bekal seadanya. Tentu saja Hajar bukanlah tipe istri
yang banyak mempertanyakan keputusan suami. Saat melihat tekad Ibrahim, Hajar
sudah tahu bahwa hijrahnya dia dan Ismail ke tanah Bakka adalah perintah Allah
SWT. Hajar membuang jauh- jauh prasangka dan kecurigaan yang biasanya lekat
dengan perasaan wanita. Hajar tidak menanyakan apakah Ibrahim semata- mata
ingin mengucilkannya. Hanya satu pertanyaan Hajar pada Ibrahim,” Apakah ini
perintah Allah, wahai suamiku?”
“Betul.”
“Kalau begitu, saya yakin Allah
pasti akan menolong.” Jawab Hajar yakin.
Subhanallah, itulah Hajar yang
disandingkan Allah dengan hamba kesayangannya. Kualitas Hajarlah yang
membuatnya terpilih untuk menjadikannya sebagai pendidik Ismail as. Ketegaran Hajar dalam
menunjukkan kemandiriannya menjalankan tugas dan skenarioNya diabadikan dalam
setiap kucuran air zam- zam, juga dalam setiap langkah sa’i antara Shafa dan
Marwah.
Kalau melihat kondisi sekarang ini,
tentunya kondiri Hajar waktu itu bisa jadi seratus kali lebih berat. Dia
berpisah dengan Ibrahim bukan untuk hitungan sehari, seminggu. Dia harus
mandiri hampir untuk belasan tahun. Mengingat hal itu rasanya malu jika hanya
ditinggal suami dua malam saja membuat istri- istri mengeluh, uring- uringan. Ditambah
peralatan komunikasi sudah canggih. Angkot, taksi dan ojeg juga mudah sekali di
dapat. Dokter, balai pengobatan dan apotik juga bukan barang langka. Belum lagi
layangan pesan antar yang memudahkan kita memesan apapun tanpa beranjak dari
rumah.
Ya.., menjadi ibu dan istri di masa
kini memang lebih mudah. Banyak sekali bantuan dari mulai bantuan tenaga maupun
alat yang bisa meringankan tugas- tugas kerumahtanggan. Mestinya itu membuat
istri- istri semakin mandiri dan bisa melejitkan potensi- potensi terpendam
yang dimilikinya. Hingga dia lebih berkarya untuk keluarganya atau untuk
masyarakatnya.
Maka, belajarlah dari Hajar. Belajar
menjadi tegar dan mandiri. Menjadi istri yang tidak selalu bergantung ke suami.
Tapi menjadi seorang istri yang bisa dipercaya untuk tugas- tugas hebat dalam
hidupnya. Wallohua’lam bishowab.***( Ayesha El Himah)
hikss terharu bacanya. bener umm, sebagai istri harus serba bisa kalau tidak ada suami di rumah. semangat umm :)
BalasHapusIstri belajar mandiri dalam segala hal,itu juga sebagai bekal bila Allah menghendaki adanya perpisahan antara suami istri...
BalasHapussalam kenal mbak
http://ennyslife.blogspot.com