Senin, 22 Oktober 2012

Setetes Embun

Belajar dari Hajar, Belajar Tegar dan Mandiri

            Sore itu, tiba- tiba teman saya berkata,”Rasanya, saya belum menjadi istri yang mandiri deh.”
            “Oh ya..? Kenapa?” tukasku setelah meneguk sisa air di cangkir.
            “ Apa- apa harus sama suami. Belanja mesti sama suami. Urusan kran bocor, genteng pecah atau yang sepele seperti air dispenser habis saja harus suami turun tangan. Apalagi untuk urusan yang gawat seperti anak sakit. Saya enggak bisa ngebayangin kalau harus bawa anak sakit ke dokter atau rumah sakit sendirian. Kalau dipikir- pikir apa aku ini manja banget ya..hihi.”
            Saya hanya terdiam. Kata- kata teman saya mengingatkan pada episode- episode saat suami harus dinas keluar kota selama hampir satu bulan lebih. Bagi saya yang biasa melihat suami ada di rumah, minimalnya saat jam kantor selesai tentu bukan perkara mudah. Apalagi sejak suami pergi ada saja kejadian di rumah. Dari mulai gas habis, persediaan beras yang menipis sampai si sulung yang waktu itu harus daftar ke SD. Yang paling membuat bingung tentu saja tiga anak yang kompakan sakit gondongan.
            Mengeluh, rasanya tidak ada waktu untuk mengeluh. Untuk mengabari suami kondisi di rumah saja sudah tidak tega. Setiap malam saat dia menelepon saya selalu bilang kondisi rumah aman terkendali. Itu saya lakukan agar dia tenang dan konsentrasi dengan tugas- tugasnya. Ketika anak- anak sakit saya juga cuma cerita semua sudah ditangani. Sudah ke dokter dan dapat obat. Suami waktu itu hanya berhamdalah dan minta maaf, karena saya harus mengurus semua sendirian.
            Jangan tanya kerepotan dan pusing yang saya alami. Bolak- balik ke dokter dengan ojek, begadang karena rintihan anak yang deman, atau pagi- pagi harus memasak bubur karena membuka mulut saja mereka kesakitan. Belum lagi mencari sekolah yang tepat untuk si sulung mengharuskan saya keluar kompleks dan turun naik angkot. Saya juga harus memutar otak dan mengnencangkan ikat pinggang karena pengeluaran yang tiba- tiba membengkak. Duh…, saya juga tidak memungkiri kalau sempat menangis dan mengeluh sama Allah SWT. Tapi waktu itu yang terlintas dalam pikiran adalah ini tugas saya, tugas sebagai kepala rumah tangga yang saat itu sedang dititipkan suami. Bismillah laa haulaa walaa quwwaata illaa billah, hanya itu penyemangat saya waktu itu.
            Dari kejadian itu saya memahami, menjadi istri yang mandiri bisa jadi menjadi suatu keharusan.  Seorang istri bukan hanya pendamping suami, yang hanya mau dipimpin, diatur, diayomi dan dibantu dalam tugas- tugasnya. Perlu dipahami bahwa seorang istri adalah pimpinan di rumah yang tugasnya mengatur rumah. Artinya, segala sesuatu urusan rumah termasuk anak menjadi tanggung jawabnya. Dalam sebuah hadist, Rasulullah pun mengingatkan bahwa setiap manusia akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Dan seorang istri akan diminta pertanggung jawaban tentang rumahnya ( yang menjadi wilayah kepemimpinannya).
            Profil istri mandiri yang bisa dicontoh sangat jelas pada sosok Hajar, istri Khalilullah Ibrahim as. Dimulai dari dia dan bayi Ismail dikirim Ibrahin ke tempat yang jauh dari kehidupan. Yang masih sepi dengan bekal seadanya. Tentu saja Hajar bukanlah tipe istri yang banyak mempertanyakan keputusan suami. Saat melihat tekad Ibrahim, Hajar sudah tahu bahwa hijrahnya dia dan Ismail ke tanah Bakka adalah perintah Allah SWT. Hajar membuang jauh- jauh prasangka dan kecurigaan yang biasanya lekat dengan perasaan wanita. Hajar tidak menanyakan apakah Ibrahim semata- mata ingin mengucilkannya. Hanya satu pertanyaan Hajar pada Ibrahim,” Apakah ini perintah Allah, wahai suamiku?”
            “Betul.”
            “Kalau begitu, saya yakin Allah pasti akan menolong.” Jawab Hajar yakin.
            Subhanallah, itulah Hajar yang disandingkan Allah dengan hamba kesayangannya. Kualitas Hajarlah yang membuatnya terpilih untuk menjadikannya  sebagai pendidik Ismail as. Ketegaran Hajar dalam menunjukkan kemandiriannya menjalankan tugas dan skenarioNya diabadikan dalam setiap kucuran air zam- zam, juga dalam setiap langkah sa’i antara Shafa dan Marwah.
            Kalau melihat kondisi sekarang ini, tentunya kondiri Hajar waktu itu bisa jadi seratus kali lebih berat. Dia berpisah dengan Ibrahim bukan untuk hitungan sehari, seminggu. Dia harus mandiri hampir untuk belasan tahun. Mengingat hal itu rasanya malu jika hanya ditinggal suami dua malam saja membuat istri- istri mengeluh, uring- uringan. Ditambah peralatan komunikasi sudah canggih. Angkot, taksi dan ojeg juga mudah sekali di dapat. Dokter, balai pengobatan dan apotik juga bukan barang langka. Belum lagi layangan pesan antar yang memudahkan kita memesan apapun tanpa beranjak dari rumah.
            Ya.., menjadi ibu dan istri di masa kini memang lebih mudah. Banyak sekali bantuan dari mulai bantuan tenaga maupun alat yang bisa meringankan tugas- tugas kerumahtanggan. Mestinya itu membuat istri- istri semakin mandiri dan bisa melejitkan potensi- potensi terpendam yang dimilikinya. Hingga dia lebih berkarya untuk keluarganya atau untuk masyarakatnya.
            Maka, belajarlah dari Hajar. Belajar menjadi tegar dan mandiri. Menjadi istri yang tidak selalu bergantung ke suami. Tapi menjadi seorang istri yang bisa dipercaya untuk tugas- tugas hebat dalam hidupnya. Wallohua’lam bishowab.***( Ayesha El Himah)

2 komentar:

  1. hikss terharu bacanya. bener umm, sebagai istri harus serba bisa kalau tidak ada suami di rumah. semangat umm :)

    BalasHapus
  2. Istri belajar mandiri dalam segala hal,itu juga sebagai bekal bila Allah menghendaki adanya perpisahan antara suami istri...
    salam kenal mbak
    http://ennyslife.blogspot.com

    BalasHapus