Ikutan Jalur Mandiri dan UMPTKIN
Sebelumnya kita udah sering diskusi sama anak tentang beberapa rencana. Jika gagal UTBK mau coba ujian apalagi. Oh iya, awalnya kami memang tidak mau mengambil ujian mandiri yang ada uang IPI nya ( uang pangkal- gampangnya ). Kalaupun mau ikut ujian mandiri maka yang non IPI.
Dari niatan itu kita pun memilih beberapa kampus yang mengadakan ujian mandiri non IPI. Di Instragram ada beberapa postingan yang menjelaskan hal itu, akhirnya kita searching dan pilihan jatuh masih di SMUP UNPAD jalur prestasi non akademik. Satu diantaranya ada jalur menghapal kitab suci ( tahfidz ) dan nilai UTBK.
Apalagi di pengumuman dari panitia tidak ada batasan berapa banyak juz yang dihapal, jadi anak pun lumayan pede ikutan. Berbagai syarat-syarat coba dipenuhi termasuk membuat portofolio yang diunggah di saluran YouTube.
Melihat nilai UTBK akhirnya anak ganti pilihan di ujian mandiri. Dia ambil jurusan Ekis dan kesejahteraan Sosial.
Ujian pemeriksaan tahfidz dilakukan secara online, dan kata anak sih dia cukup lancar pas sambung ayat. Bismillah harapan selalu ada, kencengin doa dan tawakal. Pasrahkan semua hasil pada takdir Allah karena takdir Allah itu yang terbaik.
Sebelumnya dia sudah daftar ke UIN juga mau ikut jalur UMTKIN. Dan sudah diskusi juga sama ustadzah nya di pondok akhirnya pilih jurusan Manajemen Keuangan Syariah, KPI dan Ekonomi Syariah. Pilihan itu diambil menimbang passing grade serta akreditasi jurusan.
Juni 2025 yang Berkesan
Tanggal 19 Juni itu bertepatan dengan pengumuman Beasiswa LPDP dan pondok si bungsu . Tanggal 30 Juni adalah pengumuman UMPTKIN. Dan Allahumma ala kulli hallin, ketiganya dapat hasil terbaik. Abang keterima di pondok pesantren, teteh jadi awardee LPDP bach 1 2025 dan Mbak keterima UIN di pilihan pertama. Sementara SMUP UNPAD jadi cadangan pertama di pilihan pertama, ternyata tidak ada yang mengundurkan diri jadi fix gagal.
Saya sering bertanya tahun depan mau coba UTBK lagi gak, kalau masih penasaran sama HI. Mbak mikir lalu menggeleng. Enggak ah, kayaknya cape deh. Mau fokus aja belajar di UIN.
Oke, saya pun hanya tersenyum, tapi kalau ternyata minat ikut UTBK lagi, gak papa kok. Ibu sama ayah mah dukung aja. Kalau mau coba kampus negeri lain di Bandung boleh, ke Solo bareng si nomer 2 juga boleh. Mbak cuma manggut-manggut dan bilang "Lihat nanti aja lah..."
Kerja atau Lanjut S2?
Nah, sekarang giliran si sulung atau yang biasa kami panggil Teteh.
Setelah lulus tahun 2024, setiap ditanya mau ngapain jawabannya selalu gak tahu. Mau kerja bingung, agak gak minat. Mau lanjut S2 belum kebayang mau ambil apa. Oke kita pun gak mau maksa atau terkesan ngeburu-buru. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk lanjut jadi asisten praktikum di ITB yang sudah ditekuninya sejak dua tahun sebelumnya.
Hikmahnya dia jadi punya circle yang bisa diajak diskusi rencana ke depan. Teman-teman yang udah kerja duluan kasih masukan, pun teman-teman yang lanjut fastrack di ITB tak lupa kasih pendapat. Kakak tingkatnya yang lanjut S2 juga kasih peluang dan penawaran barangkalo mau kulaih S2 di Jepang.
Semua itu dipikirkan dan diskusikan dengan saya ( seringnya ). Dan saya juga kasih masukan atau sekedar usul. Dia pun sampai pada niatan, "Kalau Teteh kulaij S2 di luar negeri boleh gak?"
Saya spontan jawab, ya boleh-boleh saja, pakai beasiswa kan? Teteh langsung jawab iya dong. Bukan karena masalah keuangan saja sebenarnya, tapi saya ingin melihat seberapa kuat niat dan menjalani prosesnya. Saya pun laporan ke pak suami dan beliau pun sepemikiran sama saya.
Dapat honor sebagai asisten, Teteh ijin bikin pasport. Katanya kalo mau daftar ke kampus luar negeri itu sebaiknya jangan pakai KTP, pakai pasport akan lebih memperlihatkan kesiapan kita. Oke, kita pun mengijinkan. Mulailah dia daftar secara online dan war jadwal wawancara offline. Alhamdulillah walau sempet misuh-misuh dapat juga jadwal wawancara dan jadilah dia punya pasport.
Proses selanjutanya mulai cari info- info beasiswa. Karena ada syarat IELTS maka dia mulai ngumpulin uang lagi untuk ujian IELTS. "Pinjam uang dulu ya Yah, aku mau ikutan IELTS."
"Kalau pinjam gak ada, kalau minta ada insyaallah."
Setelah negosiasi alot akhirnya si anak mau pakai uang ayahnya untuk bayar les dan ujian IELTS. Secara psikologi anak pertama saya paham sih, anak pertama itu paling tahu beban orang tuanya. Dengan janji dapat honor asisten dibalikin. Itu pengalaman pribadi sih, karena saya pun anak sulung hehehe. Apalagi dia hapal adiknya ada yang kuliah kedokteran dan UKT nya bikin pening setiap tiba waktu bayar ( walau kampus negeri dan bukan UKT maksimal). Belum lagi adik- adiknya yang lain ada yang mondok dan kuliah juga.
Awalnya mau ikutan ujian di JKT, tapi ternyata di Bandung juga ada. Akhirnya dia pilih ambil yang di Bandung dan ini pengalaman dia pake KRL dari Kiara Condong ke Pasir Kaliki. Alhamdulillah dapat nilai 92 atau 91 dari nilai maksimal 120. Walau agak kecewa tapi karena sudah bisa dipakai untuk daftar beasiswa ya sudah yaa... bisa nerima juga.
Pertama dia daftar ke Swedia, daftar ke kampus dan juga beasiwa dari pemerintah Swedia. Dia juga daftar ke Belgia, New Zeland, Australi dan coba ikut MEXT Jepang ambil kampus di Hokaido. Ada yang gratis ada juga yang berbayar. Nah, selain Swedia, yang diikuti Teteh gratis ya men temen. Di Swedia ini kayak ada biaya ikut UTBK gitu, biaya daftar ke beberapa kampus di Swedia. Kalau di Swedia begitu daftar ke kampus di Swedia kita bisa langsung daftar ke beasiswa pemerintah Swedia. Begitu juga dengan di Belgia.
Januari kirim pendaftaran ke Swedia, Maret dapat pengumuman keterima di Lund University ( nantinya dipakai untuk daftar LPDP ) tapi untuk beasiswa masih nunggu sampai April. Sementara dari Belgia dapat email keterima di KU Leuven dan pengumuman beasiswanya nunggu 4 pekan lagi.
Sementara dari New Zealand dan Australia tidak ada kejelasan info kapan pengumumannya. Sementara beasiswa MEXT yang paling akhir diikuti ( setelah dia daftar LPDP ) dapat info gagal. Setelah menunggu, dari Swedia tidak lolos beasiswanya dan daru Belgia masuk daftar tunggu.
Awardee LPDP 2025
Awalnya Teteh ragu-ragu mau ikut LPDP karena persaingannya yang ketat. Tapi sebuah pencerahan didapat saat dia ikut kegiatan komunitas Dikara, yang intinya kenapa khwatir mencoba, hanya karena takut gagal. Padahal kalau tidak pernah mencoba kita juga tidak tahu kualitas diri kita bagaimana. Dan apa yang kita takuti belum tentu juga terjadi.
Bismillah setelah mendapat wejangan dan tips membuat essay akhirnya diapun mantap mendaftar LPDP. saat pengumuman seleksi administrasi ternyata dia gagal. Saya tanya kenapa? katanya LOA nya masih belum pasti karena waktu itu pengumuman resminya memang belum keluar. Dari pihak kampus baru mengirim email kalau dia keterima di Lund.
Ada masa banding kan? tanya saya lagi. Coba dipakai, jangan menyerah duluan. tempuh semua proses agar gak nyesel nantinya. Setelah bertanya ke awardee LPDP tahun - tahun sebelumnya Teteh mau mengajukan banding. Dia kirim email minta format LOA yang sesuai format LPDP keterangan dari pihak Lund kalau LoA nya sudah pasti. Setelah menempuh proses banding saya selalu mensupport anak untuk tawakal. Pasrahkan sama Allah, karena Allah tahu yang terbaik untuk kita.
Lanjut ke part 3 yaa...