Sabtu, 15 April 2017

Birrul Walidain : Sebuah Potret dari Tuntutan Anak kepada Ibunya

Beberapa waktu ini berita seorang ibu yang dituntut anak kandungnya sendiri wira-wiri di layar kaca. Sebagai seorang ibu, dada saya tiba-tiba merasa berat. Apa hal sampai membuat seorang anak tega menyeret ibunya yang sudah renta, bolak-balik pengadilan demi sebuah tuntutan karena hutang piutang?

Hutang memang harus dibayar. Bahkan Nabi Saw., sampai mengingatjan, hatta seorang syahid pun harus menunggu di depan gerbang syurga jika masalah hutangnya di dunia belum kelar. Tapi orang tua berhutang dan hutangnya pun bukan untuk foya-foya, tapi menolong anak yang lain, haruskah sampai masuk pengadilan?

Sementara di luar sana, banyak juga anak-anak yang menggunakan nama orang tuanya untuk mendapatkan pinjaman dari kenalan atau kolega ayah ibunya. Dan saat jatuh tempo, orang tua lah yang kena tagih. Bahkan sampai membuat hubungan silaturrahmi renggang gara-gara hutang tak seberapa.

Artinya, sebagai anak mestinya melihat bahwa orang tua itu pasti akan melakukan apapun untuk menolong dan membela anaknya. Sementara anak, kadang dan banyaknya melupakan keduanya, saat sudah sukses atau keduanya sudah dalam kondisi payah butuh banyak bantuan.

Masih ingatkan kisah seorang ibu yang merebus batu di zaman Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a.? Karena imanlah ibu itu tetap menjaga tangannya dari melakukan pencurian atau dosa lainnya untuk menutupi kebutuhan perut buah hatinya. Doanya menggetarkan hingga membuat Umar terseok-seok memanggul karung makanan ke tempat ibu itu.

Ada juga seorang ayah yang pernah menggegerkan masyarakat karena berniat menjual ginjalnya. Semata-mata agar si anak tidak putus sekolah. Duhaii... diri, tidak cukup menggetarkan nuranikah kisah-kisah di atas?

Cobalah tengok kisah berikut, bahkan ulama sekaliber Imam Syafii sampai begitu sedih saat Sang Ibu terlihat tidak ridha padanya. Hanya karena kesalahan si utusan yang mengabarkan kedatangan beliau ke Mekkah dari Baghdad dengan membawa harta berlimpah. Sang ibu ingin anaknya jadi seorang yang faqih dalam urusan agama, bukam berlimpah materi. Padahal harta yang dibawa Imam Syafii adalah pemberian dari masyarakat Baghdad sebagai bentuk kecintaan mereka pada sang ulama.

Atau bagaimana takzimnya seorang Imam Hanafi di hadapan ibundanya. Meaki di hadapan umat, beliau bisa berfatwa dengan tegas, di hadapan ibundanya beliau tetaplah seorang anak. Yang sangat hormat dan merasa tidak ada apa-apanya dibanding jasa sang ibunda.

Atau kisah yaang akhirnya saya masukan ke dalam buku 'Ada Syurga di Rumah ( dalam proses terbit ), adalah kisah dua orang anak yang berebut hak untuk meraqat ibunda merrka yang telah renta. Keduanya berebut karena ingin mendapat ladang amal shalih dari birrul walidain. Ingin mendpaatkan keberkahan hidup darindoa-doa sang ibu. Berharap Allah ridha karena ibu pun ridha...

Maka, saya hanya bisa meneteskan air mata saat melihat berita itu. Sungguh sakit hati saya. Dan hanya bisa memeluk anak-anak dengan doa-doa yang dilangitkan, 'semoga kalian tidak begitu..., semoga dijauhkan dari sifat tercela seperti itu. Semoga.... semoga... semoga...' ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar