Jumat, 10 April 2015

Agar Tidak Ada Kata Menyesal

"Nyesel saya dulu gak mau kuliah," Keluh seorang teman
Saya dan seisi mobil spontan kaget. "Emang ngapain aja setelah lulus SMA?"
"Saya milih merit dari pada kuliah."
Kok bisa, pikiran saya muter-muter. Memang, dulu pun pernah terlintas untuk nikah muda. Tapi tetep saja keinginan saya untuk melanjutkan pendidikan sangat besar. Meski jujur saja, saya juga saat itu bingung mau kuliah dimana dan ambil jurusan apa. asli, tidak terlintas dalam pikiran saya waktu itu, sebuah profesi atau pekerjaan yang ingin saya tekuni di kemudian hari.
"Dulu orang tua saya nyodorin uang 5juta, lalu bilang, nih terserah kamu mau kuliah atau nikah. ya saya milih nikah."
"Lha..., kenapa gak milih kuliah?" Jujur saja, saya memang bener-bener penasaran :)
"Karena orang tua dulu kasih syarat, kalau kuliah harus ambil jurusan teknik. padahal saya kan senengnya bagian seni. pengin kuliah ya di bagian seni."
"Masuk aja ke IT*, kan ada jurusan fakultas FS*D." Saya masih ngotot.
"Iya, dulu enggak kepikiran Mbak, jadinya ya nikah dan sekarang pengin banget kuliah. Tapi gak ada uang hehehe."

Obrolan pun berhenti dan kami semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Saya ingat dulu orang tua juga memberi syarat kalau mau kuliah. Syaratnya cukup masuk ke PTN saja, asal negeri mau jurusan apa pun, it's oke. Kalau swasta meski jurusannya ajaib pun Abah tidak akan acc. alasannya cuma satu, ora ana duit ( gak ada uang)!

Dengan persyaratan harus negeri, akhirnya saya pun kuliah di sebuah politeknik di Bandung. Dan tanpa mempedulikan jurusan yang saya ambil, orang tua oke saja. Padahal saya masuk jurusan yang saya sendiri tidak terlalu minat. Jadilah di awal-awal masuk kuliah, saya dapat gelar Putri Salju. Eits, jangan bayangkan itu saya dapat karena tampilan fisik. Karena memang tidak ada mirip-miripnya kok dengan si Snowwhite ( hehehe... tutup muka pake jilbab ), tapi itu adalah olokan dari kakak angkatan yang artinya, putri salah jurusan ( hahahaha ).

Karena sudah terlanjur masuk, saya pun berusaha kuliah dengan baik. Alhamdulillah lulus juga setelah tiga tahun kuliah. Minimalnya, tidak ada perasaan bersalah sama orang tua. Nah, ini lah masalah yang sebenarnya, saya tidak tahu mau kerja apa dengan ijazah yang sudah di tangan. Saat teman-teman seangkatan bersemangat ngalamar ke sana-sini, ikutan proyek ini itu, saya malah asyik membangun mimpi saya menjadi penulis. setiap pagi saya sudah duduk manis di depan komputer ( bukan milik saya,milik saudara ) untuk menulis yang seringnya ngeblank hehehe.

Masalah kedua, uang jatah bulanan tak lagi datang, what a suprise! terpaksa saya pun terjun ke dunia les privat. Mengajar anak SD, SMP, SMA yang saya jalani dari pagi sampai lepas isya'. Demi apa coba, ya demi sesuap nasi dan ada alasan tidak disuruh cepat-cepat pulang kampung. Uang yang saya dapat tidak seberapa, malahan untuk ongkos ngajar saja seringnya kurang. Jadinya saya sengaja jalan kaki, memaksa kaki saya menyusuri jalan kompleks yang gak ada angkot. Ada juga ojeg yang ongkosnya bikin puyeng. kalau enggak becak yang bisa bikin sesak napas.

Tapi saya menikmati aktifitas mengajar ini, bahkan saya merasa ingin sekali menjadi seorang guru. Di mata saya, guru itu keren sekali. Mungkin karena saya terlalu terpengaruh oleh tokoh drama GTO yang super keren itu. Seorang guru yang bukan saja mengajar pelajaran di depan kelas, tapi guru yang memang membuat muris-muridnya semangat mengejar impian mereka. Persis kayak Bu Muslimah di novel Laskar Pelangi ya...

Dan akhirnya, saya pun mendapat kesempatan untuk menjadi seorang guru beneran. Artinya memang mengajar di depan kelas di sebuah sekolah. Walau cuma guru kontrak yang singkat, hehehe. Intinya, saya fokus menjadi guru yang baik, guru yang menyenangkan karena memang saya tidak mau dianggap sebagai guru yang galak. Sampai ketika masa mengajar saya selesai, saya pun pamitan. Dan ini lah yang membuat saya begitu terharu, karena murid-murid justru ingin saya lebih lama mengajar. Wajah-wajah lucu yang biasany sering bikin ulah ajaib, hari itu menangis karena enggan berpisah ( Wew..., hari itu saya juga mewek karena terharu).

Setelah menikah, saya sepakat di rumah mengurus rumah tangga dan anak-anak. Lagi- lagi ada yang membuat saya pusing tujuh keliling. Memang benar, ada kalanya, manusia butuh sebuah pekerjaan atau komunitas untuk menunjukkan eksistensinya. Demikian juga dengan kegelisahan yang saya rasakan. Buka karena ingin eksis atau sekedar diakui, tapi lebih ke arah ingin merasa bermanfaat. Bukan hanya dalam lingkup keluarga, tapi juga masyarakat.

Saya pun kerap berdiskusi dengan suami, tentang keinginan untuk kembali mengajar. Waktu itu saya merasa passion saya memang di dunia pendidikan. Tapi rupanya, kondisi saya tidak memungkinkan. Dengan si sulung yang baru 5 tahun, si kembar yang menginjak 3 tahun dan si nomer 4 yang masih doyan ASI ( 1 tahun an ) membuat saya tidak bisa beranjak dari rumah. Puff...

Suami lah yang mengingatkan saya pada cita-cita saya dulu, menjadi penulis. Dia menyemangati saya untuk kembali menulis. Dia juga memberikan sebuah komputer yang bisa saya pakai untuk menuangkan ide-ide. Dia juga menyediakan waktu untuk membaca atau sekedar mengkomentari tulisan saya. "Coba tulis hal-hal yang sangat dengan dengan dunia Ibu, dunia muslimah mungkin..."  atau, "Tulisa saya yang ingin Ibu tulis." Ujarnya menyemangati.

Saya hampir menyerah karena memang tulisan saya tidak selesai-selesai. Selalu berhenti di paragraf atau lembar kesekian. Duh..., rasanya makin tertekan. Tapi satu yang membuat saya tidak mau berhenti, adalah saya tidak ingin menyesal kelak. Karena memang saya merasa belum melakukan apa pun. Ibarat berjuang belum sampai titik darah penghabisan. Belum maksimal, bahkan melangkah pun belum, lalu bagaimana saya bisa merasakan pengalaman saat berlari atau terjatuh.

Dan saat saya mendengar kata-kata teman di awal cerita ini, saya bersyukur karena saya dulu tidak memilih berhenti. Berusahalah semaksimal kemampuanmu, hingga saat engkau memutuskan untuk berhenti pun tidak ada penyesalan. Dan satu lagi, jangan takut atau ragu menemukan cita-cita baru. Bukankah sangat menyenangkan punya banyak pengalaman yang bisa diwariskan pada anak-anak mu kelak. Sugoi  ne!***A

2 komentar:

  1. Mbaa hampir sama seperti yang kualami ini. Suami juga yang mensupport agar aku menekuni dunia tulis menulis. Emang bete rasanya di rumah aja ga ada aktivitas. Alhamdulillah sekarang udah bisa menuai hasilnya dari nulis, padahal dulu sempat ragu

    BalasHapus
  2. Beruntung kita punya supporter setia ya Mbaa...hehehe, Alhamdulillah

    BalasHapus